Soal Seragam Sekolah Negeri, Tinggal Kemauan Gurunya (I)
Kasusmemaksakan siswi menggunakan jilbab oleh guru-guru BP SMAN I Banguntapan
menggegerkan dunia pendidikan Indonesia. Khususnya Daerah ter-Istimewa
Yogyakarta yang dikenal sebagai ‘Kota Pendidikan’, ‘Kota Keberagaman’, dan
predikat kota-kota positif lainnya.
Nyatanya kebobrokan masih ada di Kota ini dan lebih dominan diberitakan, karena
memang layak diberitakan dibanding peristiwa serupa di daerah lainnya. Sebab
kontra produktif antara jargon, slogan dengan kenyataan.
Kasus ini mengingatkan pengalaman saya terhadap Nenas saat masuk SDN Bibis,
Bangunjiwo lima tahun lalu. Sempat protes kepala sekolah kenapa Nenas yang
masuk tidak pakai jilbab saat baris-berbaris dipaksa satu gurunya menggunakan
jilbab.
Saya protes, jawaban mereka karena itu aturan yang berlaku. Karena tidak ingin geger
gedhen, bukan takut. Tapi karena kuatir anak saya dirundung oleh gurunya
sendiri, saya memilih diam. Memendam bara kegetiran dalam hati sampai sekarang.
Kasus SMAN I Banguntapan. Kasus yang akan terus terulang di dunia pendidikan
Indonesia tanpa pernah ada tindakan konkrit mengatasinya.
Hari ini, Minggu (31/7/2022), saya mendapatkan kiriman kampanye isinya ‘Kembalikan
Standar Seragam Sekolah Negeri Kayak Dulu’. Ini ternyata juga dikampanyekan di
ruang media social menarik.
Sayang saya bukan pemerhati dunia pendidikan yang konsen memperhatikan terus. Saya
hanya penulis lepas yang senang menulis. Terlebih menulis kritik.
‘Jangan beritakan anjing menggigit manusia. Beritakan manusia menggigit anjing’. Kredo
penulisan yang benar dan menghilangkan pusing kepala.
Semuanya bermula dari pendidik
Fenomena penggunaan busana agama mayoritas di sekolah-sekolah negeri mulai marak setelah saya lulus SMA di awal abad ke-20 ini atau pasca reformasi.
Tidak ada lagi kita lihat anak-anak SD dan SMP menggunakan celana pendek atau rok.
Yang ada mereka diwajibkan menggunakan celana panjang dan baju lengan panjang
(bagi pria). Kemudian pelajar putri rok panjang, baju lengan panjang dan wajib
berjilbab.
Di aturan Kemendikbud Ristek tentang seragam, sebenarnya penggunaan seragam berbau
agama adalah pilihan ketiga setelah celana pendek, baju lengan pendek, rok
pendek. Masalahnya, Kemendikbud menyerahkan penerapan aturan ini ditentukan
masing-masing sekolah.
Ini menjadi dasar penyeragaman penggunaan seragam berbau agama di sekolah-sekolah
negeri. Padahal sekolah negeri bukan hanya dikhususkan untuk kalangan
pemeluk agama mayoritas. Di sana banyak pemeluk agama lain, bahkan pengamal
ajaran kepercayaan kepada Tuhan.
Disinilah posisi penting kalangan pendidik dalam penentuan seragam sekolah. Dan
kebanyakan, para pendidik ini adalah orang-orang yang tidak pernah mau menerima
perubahan. Mereka selalu saja disibukan dengan pekerjaan mengajar dan
tugas-tugas tambahan dari dinas.
Sehingga ketika, satu usulan dianggap sebagai sesuatu yang baik. Maka hal itu disetujui
dan dilaksanakan dengan kondisi apapun serta kepada siapapun. Jika perlu
dipaksakan. (Nenas mengalaminya).
Menariknya, dinas-dinas pendidikan di daerah terkesan membiarkan. Mereka seakan-akan mengamini tindakan para pendidik di satuan sekolah tentang adanya penyelewengan
aturan yang bukannya membebaskan pilihan. Namun memaksakan.
Lebih tragisnya lagi, alasan general yang dipakai para pengurus dunia pendidikan kita
terhadap pemaksaan penggunaan seragam berbau agama ini merata. Kalau bukan
‘agar terlihat agamis’. Para siswa dinilai akan memiliki nilai-nilai ‘moral’
atau lebih umumnya lagi nilai ‘ketimuran’.
Disinilah saya tidak habis pikir. Sejak kapan sekolah fokus pada nilai-nilai agamis. Ini
adalah urusan keluarga. Sekolah hanya mengajarkan untuk berpikir logika tanpa
meninggalkan ‘empati’. Empati manusia lebih penting diajarkan dibandingkan
moral.
Dan sejak kapan seragam berbau keagamaan menjadi nilai-nilai ‘ketimuran’ kita,
bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam anak-anak suku berbeda. Para
pendidik ini ingin menghapus sejarah bangsa karena mereka tengah berkuasa.
Karena sibuk mengurusi ‘moral’ dan ‘kehidupan beragama’ siswanya, akhirnya pendidik ini merupakan tugas utamanya. Menularkan ilmu kehidupan kepada siswanya untuk menjadi yang lebih unggul dibanding lainnya dan membawa kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Komentar
Posting Komentar