Penanya Hujan Itu Sudah Tak Ada Lagi

“Jawah ora kono (Hujan tidak sana)?” katanya saat bertemu 13 tahun silam. Kala itu saya mengantar anak gadisnya pulang untuk pertama kalinya.  Pada kunjungan kedua, saya melamar anak gadisnya dan bertahan sampai sekarang.

Saya agak kikuk juga untuk menjawabnya. Pertama karena saya tidak paham artinya saat itu. dan kedua ketika saya paham artinya, saya bingung menjawabnya. Kala itu jelas-jelas musim panas, kenapa menanyakan hujan.

Pertanyaan yang aneh bagi saya yang berprofesi sebagai penanya.

Setelah menjadi anak mantunya, pertanyaan yang sama selalu diajukan ke saya baik saat saya menjenguk dan bersilaturahmi ke beliau. Maupun saat beliau ingin melihat putri bungsunya di Mbantul.




“Hujan tidak di sini?” tanyanya usai mendudukan dirinya pada posisi yang nyaman di rumah saya tak berkursi.

Terus terang jawaban yang saya berikan tentu saya sesuaikan dengan kondisi atau cuaca yang saat itu terjadi. Jika sedang hujan, saya jawab hujan. Jika panas saya jawab panas.

Yang mengherankan meskipun sudah saya jawab belum hujan karena musim panas. Beliau dengan sabar menceritakan bahwa di rumahnya beberapa waktu sebelumnya atau kemarin turun hujan. Meskipun sebentar, namun itu dikatakan dengan bangga.

Saya tidak paham. Saya tidak paham. Bahkan saya menyampaikan dengan istri bahwa pertanyaan beliau adalah pertanyaan basa-basi dan template. Tidak ada arti dan selalu ditanyakan pada banyak orang.

Terutama pada enam anaknya. Pertanyaan ‘apakah di sana hujan’ menduduki posisi pertama untuk ditanyakan.

Satu minggu lalu, setengah jam lewat tengah malam beliau berpulang dengan tenang. Tepat di hari lahirnya (dalam hitungan Jawa), tepat sesudah perayaan hari lahir cucu perempuan yang disayanginya, dan tturunnya hujan.

Seiring waktu. Saya mulai menyadari dan memahami arti pertanyaan itu. Sederhana namun mendalam artinya. Tidak terbuka, tapi disampaikan dengan jujur.

Sekarang saya menyebutnya dengan ‘Doa Dibungkus Pertanyaan’.

Saya akan menceritakan dasarnya. Kata hujan berkaitan dengan air. Dalam banyak kebudayaan, air adalah simbol bagi keberlangsungan kehidupan. 80 persen permukaan bumi adalah air.

Demikian juga dengan Jawa. Air menempati posisi tertinggi untuk dihormati. Tidak sekedar sebagai simbol bagi kehidupan. Air juga merupakan simbol atas turunnya rezeki dan karunia dari Sang Maha Kuasa.

Simbol air banyak digambarkan dalam berbagai motif bangunan maupun pada batik. Jika kamu menemukan rumah tua jawa, lihatlah tepat di bawah ujung atap. Pastinya akan terdapat semacam kayu dengan ukiran ‘Gunung Terbalik’. Itu dinamakan ‘Embun Temetes’, gunung terbalik itu adalah tetesan air.

Demikian juga jika kalian melihat motif itu di batik, khususnya batik tulis. Itu adalah doa agar pemakainya atau pemilik rumah mendapatkan rejeki yang lancar serta mencukupi untuk mengarungi hidup.  

Bapak mertua saya murni berdarah Jawa. Dia putera asli Magelang. 93 tahun beliau hadir sebagai pendidikan bagi generasi muda Magelang. Beliau saksi perubahan Kota Magelang.

Pertanyaan tentang hujan atau air, secara logika bagi saya sangat masuk akal diajukan beliau. Sebagai daerah yang dikelilingi gunung, Kota Magelang maupun Magelang menjadi wilayah dengan curah hujan yang cukup tinggi.

Saya merasa, musim hujan di Magelang lebih lama dibandingkan dengan daerah lain yang pernah saya huni. Hujan tak pernah pandang waktu dan hadir dengan dingin yang menggigil.

Jadi wajar, jika Bapak selalu bertanya tentang hujan.

Namun ada yang lebih mendalam. Air bagi masyarakat Jawa adalah rejeki, demikian juga dengan bapak menurut saya. Jadi itu adalah retorika yang intinya bertanya ‘Bagaimana pekerjaanmu, Apakah ada rejeki?”

Doa ini juga ditampilkan istri saya melalui simbol. Lewat segelas air putih yang tersedia di kala saya bangun tidur dan sesudah pulang dari mencari uang. Segelas air putih selalu siap.

“Air putih itu adalah doa istrimu. Di pagi hari disediakan untuk mendoakan kesehatanmu. Di sore hari saat kamu pulang, dia mendoakan kamu mendapatkan banyak rejeki agar bisa membahagiakan keluarga,” kata Romo AO.

Menyadari ini, di beberapa kali pertemuan terakhir saya sebelum beliau berpulang. Ketika mendapatkan pertanyaan yang sama dari Bapak saya mencoba menghadirkan kegembiraan.

Jika di tempat tinggal saya tidak hujan, saya akan bercerita bahwa di perjalanan Mbantul-Kota Magelang sempat berteduh karena hujan di satu titik.

Atau kalau tidak, saya menceritakan hujan yang hanya berlangsung sebentar di lingkungan saya. Meski hanya seucap kata, tidak banyak, namun itu sudah membuatnya senyum.

Saya percaya, bahwa doanya akan datangnya hujan terkabul. Doa terbaik pada saya, istri dan keluarganya diberikan olehnya. Matur nuwun.




Darsono Bin Sastro Warsito. Terima kasih.

Komentar



  1. Maaf, koreksi sedikit.
    Hujan dalam bahas Jawa adalah "jawah" (pakai 'h').

    Terimakasih atas kisah yg menarik.
    Suwun.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak