Dari Bakso Tiren Meloncat Ke Gubernur Terpilih

Ikut merayakan Imlek tahun Macan, saya seharian ini hanya di rumah. Saya memutuskan menutup diri dari berbagai informasi karena memang sedang ada pekerjaan yang penting dan semoga diterima oleh pemesannya.

Sempat dihadapan layar penuh lima jam. Sempat tertidur sore sebentar. Dampaknya malam ini saya tidak bisa tertidur cepat. Layar kembali hidup untuk mencoba melihat apa yang bisa dituliskan di lembaran putih. 

Marilah sebentar kita mampir ke Bantul. Kali ini saya ingin membahas tentang penangkapan pembuat bakso berbahan bangkai ayam mati kemarin (Tiren) yang di jumpa pers kan Minggu lalu atau tepatnya 24 Januari 2022 di Polres Bantul. 



Sebenarnya tidak ada yang begitu menarik dari kasus ini, kecuali memang bahan ayam tiren itu. Namun dari sisi kedalaman berita, sebenarnya jika diberi kesempatan waktu agak lama, soal waktu produksi bakso yang sudah berlangsung sejak 2015 lalu pantas dikulik. 

Suami istri warga Kecamatan Jetis dalam pengakuannya telah memproduksi bakso dengan ayam tiren sejak 2015. Nah, mengapa selama tujuh tahun ini tidak terendus oleh aparat atau minimal tetangganya. 

Atau ditengah upaya mencari laba yang lebih besar, produsen bakso ayam tiren ini lihai dalam mengelola rumah produksinya. Dari barang bukti yang disita, dipastikan bahwa mereka tidak menggiling daging ayam tiren itu di rumahnya. 

Namun selalu berpindah dan inilah yang menjatuhkan mereka. Dibalik kenekatan  mereka berbuat jahat untuk mendulang laba. Saya pribadi mengapresiasi kreativitas yang dimunculkan mereka dalam upaya menghidupkan ekonomi. Tercatat dua sampai tiga tetangganya menjadi pengecer. 

Kreativitas ini rasanya sejalan dengan tagline dari Bupati Bantul Abdul Halim Muslih yang banyak kesempatan mengatakan bahwa perekonomi Bumi Projotamansari itu itu pondasinya adalah kreativitas. Entah pertanian, kriya dan pariwisata. 

Tapi yang tadi kedua orang ini kebablasan dalam berkreatifitas sehingga membahayakan kesehatan orang lain. 

Sudahlah kita lupakan saja kasus itu. Mari kita berjalan kembali ke arah utara. Ke pusat ekonominya Kota Yogyakarta.....Yes Malioboro.

2.446 Pedagang Kaki Lima (PKL) sedang gundah gulana karena dilarang berjualan lagi di sepanjang lorong Malioboro. Puluhan tahun mendulang rejeki di sana, mereka dipaksa untuk menempati sentra-sentra PKL yang lokasinya sedikit masuk ke dalam dari jalan raya.

Karena tidak berani berhadapan langsung dengan Raja, mereka menyuarakan keberatan lewat wakil rakyatnya di dewan. Namun akhirnya, saya kira keluhan mereka hanya akan didengar saja tanpa pernah mendapatkan tindakan selanjutnya dari mereka  yang merasa terhormat. 

Sakitnya, tidak semua pedagang itu mendapatkan tempat. Pemda DIY hanya menyediakan 1.800-an saja lapak untuk menggelar dagangan. Ukurannya pun jauh lebih kecil. 

Kekesalan yang ditunjukan rakyat Yogyakarta itu lucu dan unik. Tidak perlu fisik. Perlawanan disampaikan dengan cara yang pintar, lugas dan mengena ke dalam ulu hati para pejabat. 

Penjual soto yang biasa dipanggil Londo, karena kecewa dengan keputusan relokasi tanpa pernah memberikan solusi lancar tidaknya usahanya. Dia mengungkapkan kekecewaannya dengan berkata tegas ‘Gubernur DIY tidak usah dipilih lagi’.

Padahal sesuai UU Keistimewaan 2012, Gubernur DIY itu tidak dipilih, tetapi ditetapkan oleh para wakil rakyat yang mereka temui untuk minta bantuan. Hanya 45 yang menetapkan tanpa paksaan dan rela.

Dua juta lebih warga DIY tidak pernah didengar suaranya. Apakah mereka benar-benar menyetujui penetapan. Atau karena akumulasi kekecewaan yang bertubi-tubi menginginkan pemilihan. Hanya masa depan yang tahu.

Tapi soal ‘Tidak memilih lagi Gubenur’, berita ini menjadi terpopuler di Gatra.com dengan keterbacaan mencapai 39 ribu. Berbanggalah saya... 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak