Ini Kenyataan Bagi Kita, Manusia
Saya masih ada waktu untuk menulis. Baiklah apa yang ingin saya tulis.
Jadi ketika
saya bertamu, sebut saja ke rumah Pak IS. Kami berbicara panjang lebar tentang
proses belajar dalam kehidupan. Sebenarnya tuan rumahlah yang banyak bicara
tentang macam-macam pembelajaran dan saya menjadi pendengar yang baik yang
sesekali menimpali.
Kami sepakat
tak tertulis, bahwa apa yang kita bahas ini lebih fokus pada proses
pembelajaran kehidupan yang sesuai dengan falsafah Jawa. Saya awalnya tidak
banyak mengerti apa yang dibicarakan. Tapi saya akan mencoba merangkai untuk
kalian pembaca budiman yang saya hormati agar enak dibaca.
Boleh saja
kalian anggap ini tulisan buku harian, ungkapan hati, atau tulisan cap taek.
Bagi saya itu sudah tidak menjadi persoalan lagi. Yang penting kalian membaca
ini sampai habis dan bisa kalian renungkan sendiri.
Dalam
kehidupan, setiap kebudayaan mengajarkan manusia untuk terus bergerak dan
berpegang pada Tuhan. Jika tidak bergerak maka akan selesai di dunia. Manusia
mengalami putaran, baik dan buruk dalam hidup, tapi kita harus tetap berdiri
tegak di satu sikap sehingga tercipta keseimbangan antara masalah, kebutuhan,
dan keinginan.
Bumi telah
mengajarkan hal-hal sederhana dengan perputaranya, mengajarkan keseimbangan
harmoni dalam menjalani kehidupan.
Bahkan di satu
fase kita tidak memiliki apa-apa untuk dimakan, diminum, atau pakaian untuk
dikenakan. Kita tetap harus melihat bahwa hidup saat ini baik-baik saja.
Saya percaya,
adalah bahwa hidup itu sangat berharga dan hidup itu bisa berlalu sewaktu-waktu,
bahkan ketika kita merasa aman dan nyaman di ranjang kita.
Terkadang
kehidupan tidak terus bermurah hati kepada manusia. Pada dasarnya hidup memang
sulit dan tak berbelas kasihan. Terutama pada mereka yang merayap di dasar
kolam.
Kita harus
selalu berhati-hati jika tidak ingin menjadi mangsa. Kalau kau tak terkenal,
kau kelaparan. Kau harus menjual diri kepada masyarakat.
Ajaran kuno
Sunan Drajat mengajarkan empat tuntunan menjalani kehidupan .
Paring teken
marang kang kalunyon lan wuto (berikanlah tongkat kepada mereka yang berada di
tempat licin dan mereka yang buta). Paring pangan marang kang kaliren
(berikanlah makanan kepada mereka yang lapar). Paring sandhang marang kang
kawudan (berikanlah pakaian kepada mereka yang telanjang). Paring payung kang
kodanan (berikanlah payung kepada mereka yang kehujanan).
Tampak
sederhana saja, namun anda tahu kedalaman dan kemuliaannya.
Manusia,
spesies paling berbahaya di dunia bukan karena kita punya gigi paling besar,
cakar paling tajam, sengat paling beracun, atau kulit paling tebal.
Melainkan
karena kita tahu cara melengkapi diri sendiri dengan alat dan senjata mematikan
yang menjalankan fungsi gigi, cakar, sengat, dan kulit secara lebih efektif
ketimbang sekadar bagian anatomi apa pun.
Hidup adalah
sebuah perjalanan yang tidak terduga, terkadang kita merasa tahu dan punya
segalanya, tetapi pada kenyataannya tidak. Semua tentang kehilangan.
Kita lahir dan
menua. Kita kehilangan rambut dan gigi, orang-orang tersayang, juga kekayaan.
Intinya bagaimana kita menerima. Untuk apa takut kehilangan. Kita lahir
telanjang tidak punya apa-apa.
Dan lihatlah
apa yang miliki sekarang.
Sebaik-baiknya
manusia adalah mereka yang bermanfaat untuk sesamanya. Dalam pengertian luas,
'bermanfaat' bagi sesama itulah yang disebut cinta.
Cinta pada
dasarnya berparadigma memberi dan memberi (give and give). Selalu semangat
untuk berbagi dan berbagi. Dalam cinta tak paradigma take and give. Ini hanya
berlaku dalam dunia perniagaan.
Marilah, Jika
kita tidak bisa menyenangkan orang lain. Maka setidaknya, seminimal mungkin
jangan membuat sakit orang lain.
Kita manusia
sering berpikir bahwa uang adalah obat untuk semua tujuan. Padahal sebenarnya
tidak. Kita membutuhkan perekat sosial.
Ini memang
perjalanan yang berat. Tapi percayalah akan ada hasil jika kita melanjutkanya.
Jika tak sesuai keinginan, setidaknya kita tetap memperoleh kesempatan untuk
meraih hasil terbaik.
Ini bukan hanya
sebuah cerita. Ini adalah kenyataan bagi orang-orang.
Komentar
Posting Komentar