Norma Tersembunyi Jilbab Dalam Tata Tertib Sekolah



Sejak kasus putri saya yang dipaksa berjilbab di SD Bibis, Kasihan, Bantul. Saya cenderung diam. Bukan karena tidak ingin semangat protes keras terhadap aturan yang keluar dari pakemnya. Namun saya sementara ini mencoba berdamai dengan diri sendiri untuk kebahagiaan putri saya.

Namun apa yang terjadi pada Kamis (7/2) membuat saya kembali terhenyak. Permasalahan ‘tersirat mewajibkan’ jilbab terulang kembali. Kali ini menimpa SMPN 8 Kota Yogyakarta.


Kasus ini bagi saya menarik. Tentang bagaimana para pengelola sekolah umum, terutama sekolah negeri mengakali aturan di atasnya untuk mengharuskan siswi muslim yang bersekolah di sana memakai seragam jilbab.

Seperti diketahui, aturan tentang seragam sekolah secara nasional sudah diatur dalam Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) bernomor 45 tahun 2014 tentang pakaian seragam sekolah bagi peserta didik dasar dan menengah. Aturan ini disahkan pada 9 Juni 2014.

Dalam aturan itu, ada empat seragam yang diatur dan wajib disediakan para wali murid. Pertama adalah seragam nasional yang secara berjenjang berwarna Putih-Merah, Putih-Biru, dan Putih-Abu-abu. Kemudian ada seragam pramuka.

Ketiga adalah pakaian khas yang ditentukan sekolah masing-masing sebagai upaya menumbuhkan kebanggaan pada jiwa siswa bersekolah di sana. Terakhir adalah pakaian khas siswi muslimah.

Aturan pertama dan kedua tentang seragam sekolah wajib dipenuhi setiap siswa. Aturan ketiga, tergantung dari pihak sekolah. Sedangkan aturan keempat sangat berkaitan dengan keinginan pribadi.

Dalam penggunaan jilbab pada seragam siswi muslim. Kementerian menandaskan bahwa sekolah memiliki wewenang mengatur seragam sekolah siswanya. Tapi sekolah juga diminta memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan masing-masing.

Disini terjadi kejelasan, meski diatur dalam Permendikbub 45 tahun 2014. Tapi busana khas muslimah hanya menjadi pilihan pribadi dan sekolah tidak memiliki alasan untuk mengaturnya.

Namun dalam kenyataannya, banyak pemberitaan mengabarkan di beberapa sekolah siswi muslim yang belum siap berjilbab harus mematuhi aturan memakai jilbab. Bahkan beberapa kasus memperlihatkan aturan pemakaian jilbab ini juga diterapkan pada siswi non muslim.

Kita kembali lagi ke kasus SMPN 8 Kota Yogyakarta.


Di medio September tahun lalu, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) DI Yogyakarta menerima laporan bahwa SMPN 8 Kota Yogyakarta memaksa siswi muslim berjilbab. Selama empat bulan penuh, ORI melakukan penyelidikan dan pada tengah pekan lalu akhirnya laporan diserahkan ke Pemkot Jogja.

Budhi Masturi, Ketua ORI DIY menceritakan modus yang ‘menyiratkan kewajiban’ berjilbab dilakukan pengelola SMPN 8 dengan mengeluarkan tata tertib yang tidak sesuai dengan Peraturan Walikota nomor 57 tahun 2011 tentang Pendoman Penyusunan Tata Tertib Sekolah.

Di tata tertib yang diberlakukan pihak sekolah, kata-kata ‘dapat’ berseragam jilbab bagi siswi muslimah dihilangkan.

“Sebelumnya kami meminta pihak sekolah melakukan perubahan tata tertib sekolah secara lisan. Namun tidak mendapatkan tanggapan atau respon,” jelas Budhi.

Dalam Pasal 6 poin 1(c) tata tertib itu disebutkan bahwa: "Pakaian seragam khas muslimah adalah pakaian seragam yang dikenakan oleh peserta muslimah karena keyakinan pribadinya sesuai dengan jenis model dan warna yang telah ditentukan dalam kegiatan belajar-mengajar untuk semua jenis pakaian seragam sekolah."

Di sinilah polemik itu bermula. Meski tidak ada kata-kata ‘wajib’ di tata tertin. Namun karena peraturan ini mengikat semua siswi maka tata tertib menjadi dasar bagi guru mewajibkan setiap siswi muslim berjilbab.

ORI DIY menyebut menyebut aturan ini menyiratkan kewajiban penggunaan jilbab bagi siswi muslim ini dengan sebutan ‘norma tersembunyi’.  

Laporan akhir hasil penyelidikan (LAHP) bernomor 0082/LM/IX/2018/YOG yang dikeluarkan ORI DIY. Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta dan kepala sekolah SMPN 8 wajib melakukan revisi tata tertib dan menambahkan kata ‘dapat’.

Tentu saja, jawaban yang dikeluarkan pengelola sekolah, Dinas Pendidikan, bahkan Wakil Walikota bisa dikatakan normatif. Mereka sepakat bahwa tata tertib yang dikeluarkan sekolah tidak salah karena tidak mencantumkan kata ‘wajib’.

Itu memang benar. Dan seperti kata ORI, karena sudah menjadi tata tertib dan berlaku mengikat, maka hal itu menjadi sebuah keharusan untuk menekan siswi muslimah memakai jilbab.

“Sesuai Perwal 57/2011 memang tidak ada kata mewajibkan, demikian juga di tata tertib. Tapi kami akan segera membahas surat dari ORI dan menindaklanjuti apa yang menjadi rekomendasinya,” jawab Wakil Walikota Heroe Purwadi saat diminta pendapatnya.
Jadi jelas dalam kasus ini pihak sekolah umum negeri bermain cantik dalam melanggar aturan di atasnya. Tanpa menggunakan kata ‘wajib’ dan menghilangkan kata ‘dapat’. Tata tertib yag dikeluarkan menjadi acuan bagi kalangan guru agama untuk menegur dan memaksa siswi muslimah berjilbab.
Sebuah metode menarik yang mungkin, mungkin ya, akan kita temukan di banyak sekolah dari tingkat rendah sampai atas. Khususnya sekolah-sekolah yang berada di Pulau Jawa.
Saya hanya bisa berdoa saja, bahwa mereka sadar. Bahwa keyakinan seseorang entah dalam menempuh pendidikan atau menjalani kehidupan adalah pilihan pribadi seseorang. Itu merupakan hak asasi yang paling hakiki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak