Jangan-jangan Agni/AL/AN Fiktif?
Setelah mengikuti perkembangan kasus dugaan pelecehan/perkosaan UGM yang menimpa Agni alias AL alias AN dengan terlapor HS. Saya malah meragukan keberadaan.
Diberitakan pertama oleh perma Balairung, kasus ini berkembang luas dan menjadi perhatian publik.
Lambatnya langkah UGM dalam menyelesaiakan kasus ini secara internal, membuat kasus ini menimbulkan efek domino yang tiada henti dari semua penjuru.
Media yang bermerek, meminjam istilah dari Direktur Direskrimum Polda DIY Kombes Hadi Utomo, tidak mendapatkan kebebasan akses ke dan dari manapun. Entah dari Balairung, UGM, polisi, maupun lembaga oendamping yang berasal dari Rifka Annisa.
Keterbukaan malah berasal dari Tommy yang menyatakan diri sebagai kuasa hukum HS. Dan itu wajar.
Ketika kasus ini berakhir dengan 'kesepakatan penyelesaian'. Perlu dicatat, menurut pendamping, Agni keberatan dengan istilah 'damai'. Kok bola panas ini masih terus mengelinding.
Polda menyatakan tidak menemukan indikasi pelecehan atau perkosaan dalam peristiwa ini, yang ada hanya salah paham. Sebagai palapor tunggal, Arif Nurcahyo, Ketua SKK UGM terlihat seperti membiarkan kasus ini terus mengalir dengan tidak mencabut laporannya.
Kondisi ini terkesan seperti membiarkan semua orang mendapatkan kesempatan untuk mengail kesempatan demi diri sendiri.
Sekarang kartu truf ada di Balairung. Persma yang pertama kali menulis dan menayangkannya. Kombes Hadi secara terbuka menilai tulisan itu adalah 'novel' bukan berita.
Menurut saya untuk menghentikan kasus ini, Balairung harus berani membuka identitas korban maupun terduga pelaku. Memang dalam UU Pers dinyatakan bahwa narasumber berhak disembuyikan untuk menjamin keselamatannya.
Namun karena kasus ini sudah merepotkan publik, maka redaksional Balairung dengan rendah hati membuka identitas mereka. Memang tidak mudah, tetapi tanpa ada gerakan ini, saya pikir harapan untuk meraih simpati publik sepertinya hanya mimpi di siang bolong.
Resepnya sederhana bukan.
Jika saya di sisi redaksional Balairung? Sebelum menayangkan berita itu, saya akan tantang korban bahwa jika kedepan masalah ini berlarut-larut dan menimbulkan banyak kecurigaan. Maka saya meminta kesepakatan dari dia untuk bersedia membuka diri ke publik untuk menjawab bahwa semua peristiwa ini tidak fiktif!
Kepercayaan publik itu mahal. Pewarta sejati pasti mengerti.
Diberitakan pertama oleh perma Balairung, kasus ini berkembang luas dan menjadi perhatian publik.
Lambatnya langkah UGM dalam menyelesaiakan kasus ini secara internal, membuat kasus ini menimbulkan efek domino yang tiada henti dari semua penjuru.
Media yang bermerek, meminjam istilah dari Direktur Direskrimum Polda DIY Kombes Hadi Utomo, tidak mendapatkan kebebasan akses ke dan dari manapun. Entah dari Balairung, UGM, polisi, maupun lembaga oendamping yang berasal dari Rifka Annisa.
Keterbukaan malah berasal dari Tommy yang menyatakan diri sebagai kuasa hukum HS. Dan itu wajar.
Ketika kasus ini berakhir dengan 'kesepakatan penyelesaian'. Perlu dicatat, menurut pendamping, Agni keberatan dengan istilah 'damai'. Kok bola panas ini masih terus mengelinding.
Polda menyatakan tidak menemukan indikasi pelecehan atau perkosaan dalam peristiwa ini, yang ada hanya salah paham. Sebagai palapor tunggal, Arif Nurcahyo, Ketua SKK UGM terlihat seperti membiarkan kasus ini terus mengalir dengan tidak mencabut laporannya.
Kondisi ini terkesan seperti membiarkan semua orang mendapatkan kesempatan untuk mengail kesempatan demi diri sendiri.
Sekarang kartu truf ada di Balairung. Persma yang pertama kali menulis dan menayangkannya. Kombes Hadi secara terbuka menilai tulisan itu adalah 'novel' bukan berita.
Menurut saya untuk menghentikan kasus ini, Balairung harus berani membuka identitas korban maupun terduga pelaku. Memang dalam UU Pers dinyatakan bahwa narasumber berhak disembuyikan untuk menjamin keselamatannya.
Namun karena kasus ini sudah merepotkan publik, maka redaksional Balairung dengan rendah hati membuka identitas mereka. Memang tidak mudah, tetapi tanpa ada gerakan ini, saya pikir harapan untuk meraih simpati publik sepertinya hanya mimpi di siang bolong.
Resepnya sederhana bukan.
Jika saya di sisi redaksional Balairung? Sebelum menayangkan berita itu, saya akan tantang korban bahwa jika kedepan masalah ini berlarut-larut dan menimbulkan banyak kecurigaan. Maka saya meminta kesepakatan dari dia untuk bersedia membuka diri ke publik untuk menjawab bahwa semua peristiwa ini tidak fiktif!
Kepercayaan publik itu mahal. Pewarta sejati pasti mengerti.
Komentar
Posting Komentar