Matematika dan Nalar Kita...
Menginjak catur wulan ke dua kelas dua SMA, saya
memutuskan tidak lagi menyenangi matematika. Padahal sebelumnya saya bergairah
ketika mata pelajaran ini dimulai. Bukan karena kemampuan otak saya yang buntu.
Namun keputusan
saya lakukan dengan cepat karena guru pengajar ilmu hitung ini sangat tidak
interaktif dalam memberikan bahan pengajaran. Selama dua jam mata pelajaran
yang diampunya, guru pria ini sama sekali tidak menoleh ke belakang. Menatap
lurus ke depan, ke papan tulis sambil bicara sendiri dan menulis berbagai rumus.
Saya juga
menilai dia diskriminasi. Hanya siswa-siswi pintar ber-matematika saja yang diperhatikan.
Sedangkan yang lain, terlebih deretan bangku belakang tidak pernah dihiraukan
sama sekali. Guru ini tidak pernah mempedulikan siswa yang lain bisa apa
tidak. Yang penting dia mengajar, dan murid kesayangannya bisa memahami.
Baiklah
saya tidak akan kembali membicarakan masa lalu. Karena dia begitu jauh untuk
diulang kembali dan hanya menjadi pembelajaran serta pondasi tindakan kita
sekarang.
Saya masuk IPS dan memiliki Jurnalistik sebagai kajian, karena saya memiliki gairah di sana.
Namun
tepat pada peringatan Hari Pahlawan (10/11/2018), Kompas melaporkan kajian
tentang pelajaran matematika yang mengejutkan.
Berdasarkan
penelitian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bahwa selama 12 tahun terakhir kemampuan siswa dari SD sampai SMA dalam menyelesaikan soal-soal matematika
hanya meningkat sebanyak 12 persen saja.
Kemendikbud memberikan
perbandingan pada 2000 sebanyak siswa SD sebanyak 31,8 persen yang mampu
menjawab benar, sedangkan siswa SMA 42,3 persen. Angka ini menurun pada 14
tahun kemudian atau 2014 dengan rincian siswa SD yang menjawab benar sebanyak
26,5 persen dan siswa SMA 38,7 persen.
Kondisi terparah terjadi dua
tahun lalu atau 2016, dari seluruh siswa SD-SMA yang disurvei terdapat angka
77,13 siswa memiliki kompetensi matematika kurang, 20,58 persen cukup dan 2,29
persen baik. Angka-angka ini memberikan sinyal berbahaya pada kemampuan
berpikir dan bernalar pada siswa Indonesia.
Matematika sepenuhnya memang
pembelajaran berhitung dasar dari pertambahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian. Belajar matematika dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir
dan bernalar.
Kenapa nalar begitu penting?
Karena nalar seperti perkakas
pilihan terakhir manusia dalam menghadapi suatu masalah. Manusia lebih sering
menggunakan impulsi dan intuisi dahulu, baru jika menemukan kegagalan
dikeluarkan perkakas nalarnya.
Nalar baru akan berfungsi
sungguh-sungguh saat manusia dipaksa mengaktifkannya.
Belajar matematika tidak
bertujuan menjadikan anak-anak matematikawan.
Tetapi untuk belajar bernalar dengan menguasai perhitungan aritmatika
dasar. Belajar matematika penting untuk membantu anak memikirkan hal abstrak.
Tetapi proses belajar dimulai dari sesuatu yang konkret.
Para ahli pendidikan meyakini bernalar
sangat berhubungan dengan kemampuan berpikir cepat manusia. Di kehidupan abad
21 ini, kemampuan berpikir cepat adalah ketrampilan yang sangat dibutuhkan.
Semakin cepat berpikir dan semakin cepat mengambil keputusan, sukses sudah ada
di tangan. Yang paling cepat, yang paling baik.
Tapi pada dasarnya, kemampuan bernalar
dan berpikir cepat, menjadi tanggung jawab pribadi. Setiap individu memiliki
kewenangan penuh apakah akan menerima konsekuensi dari penerimaan atau
penolakan terhadap sebuah informasi.
Untuk bisa mendapatkan
ketrampilan berpikir cepat diperlukan semangat menumbuhkan dua sikap yang harus
diasah terus-menerus selama umur masih ada. Pertama sikap skeptisisme atau
sikap yang selalu meragukan kebenaran pada semua hal dengan menampilkan hal
lain yang benar. Kedua, melalui kebiasaan mengajukan pertanyaan berkualitas
Dengan kemampuan bernalar dan
berpikir cepat, setiap individu akan membekali dirinya dengan aneka pengetahuan
dan pemikiran kritis. Ini menjadi sebuah filter dan perlindungan diri bagi
individu.
Sebuah gerakan menggalakkan
matematika bertajuk Gerakan Nasional Berantas Buta Matematika (Gerakan
Tastaka) akhirnya diinisiasi. Gerakan ini berawal dari keprihatinan tidak
berkembangnya kemampuan ber-matematika siswa SD hingga SMA, bahkan untuk
kompetensi dasar matematika.
Gerakan Tastaka menyimpulkan problem
utama terletak pada proses pembelajaran yang kurang menekankan pada penalaran
dan berpikir kritis. Buta matematika siswa Indonesia lebih disebabkan proses
pendidikan yang tidak membantu siswa mampu mengembangkan proses berpikir dengan
matematika yang abstrak. Sekolah Indonesia selama 18 tahun terakhir gagal mengedepankan
logika, termasuk juga etika.
Menanggapi dunia pendidikan
Indonesia, ada sebuah kisah bijak.
Diceritakan ada pemilik dan
bekerjanya menabur benih padi di ladang yang sudah diolah pada pagi hari. Malam
harinya, seseorang yang berniat jahat menaburkan bibit ilalang di ladang yang sama.
Setelah beberapa minggu, benih padi dan ilalang tumbuh subur dan memiliki rupa
yang sama.
Para pekerja yang kebingungan,
mereka ingin menghilangkan ilalang namun takut merusak tanaman padi. Pemilik
ladang lalu berkata, biarkan tumbuhan ilalang tumbuh besar dengan tanaman padinya.
Jika ilalang itu dicabut, besar kemungkinan tanaman padi juga rusak.
Pemilik meminta para pekerjanya
untuk fokus pada tanaman padinya, jika bulir padinya sudah keluar. Barulah tanaman
padi dan ilalang dipisahkan, karena mudah dibedakan.
Begitulah proses pendidikan di
negeri ini. Pemerintah dengan sungguh-sungguh membangun dunia pendidikan untuk
menghasilkan individu-individu yang bernilai. Namun tetap saja ada pihak-pihak
yang masih bermain-main dengan tujuan menggagalkan tujuan mulia pendidikan.
mereka bermain dengan cara yang sangat kotor dan berbahaya.
Komentar
Posting Komentar