Kebohongan Akan Kebenaran, Dimaafkan Tetapi Tidak Dilupakan


Melihat media sosial dan internet sekarang ini saya tidak akan pernah mengeluhkan keberadaan berita bohong yang begitu banyak tersebar. Kebohongan seperti sebuah penyakit menular yang menjangkiti setiap masyarakat.
Bagi saya, melakukan melakukan kebohongan pada dasarnya merupakan satu dari banyaknya keinginan dalam menjalani kehidupan.
Tentu saja, saya tidak akan pernah menjadikan masalah saat sebuah kebohongan dilakukan orang lain pada diri saya sendiri atau katakanlah satu individu saja. Sebab maaf menjadi pintu masuk untuk berhubungan kembali meski tidak bisa dilupakan.
Tetapi bagaimana jika kebohongan itu dilakukan kepada publik? Apakah hanya cukup akibat yang ditimbulkan diselesaikan dengan permintaan maaf saja.
Cerita pengembala domba dan petani yang disampaikan dalam serial ‘Upin-Ipin’ menjadi gambaran jelas bagaimana karma yang timbul akibat melakukan kebohongan. Dimaafkan tetapi tidak dilupakan. Dimaafkan tetapi tidak bisa dipercaya.
 Sekarang ini, kebohongan dan kebenaran kian sulit dibedakan. Diperlukan sikap skeptis (mempertanyakan segala sesuatu hal), tidak mengindentikkan diri dengan kelompok tertentu dan menginformasi ulang setiap informasi bisa menghindari diri dari manipulasi kebohongan-kebohongan.
Pakar menyatakan melakukan kebohongan bisa dianggap sebagai upaya bertahan hidup atau demi kemashalatan bersama. Meskipun yang dilakukan adalah kebohongan demi kebaikan (Bohong putih). Sebab pada dasarnya tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kebohongan.
Melakukan kebohongan itu tidak mudah, jauh lebih sulit dibandingkan mengatakan kejujuran. Berbohong membutuhkan energi hingga membuat otak cepat lelah. Ketika otak sudah lelah, maka setiap kebohongan pasti memiliki celah hingga menjadikannya terkuak.
Kebohongan dilakukan untuk mempertahankan diri. Namun saat kebohongan dipergunakan untuk memanipulasi dan menyesatkan khalayak demi kepentingan pribadi, maka kebohongan perlu diwaspadai.
Akibat maraknya kebohongan yang disebarkan lewat media sosial, manusia kehilangan kemampuan komunikasi dengan diri sendiri. Pengguna internet seakan tak peduli, entah berlatar pendidikan tinggi maupun status sosial, mereka dengan mudahnya menyebarkan berbagai informasi yang belum diketahui kebenarannya dan disuguhkan kepada publik.
Media sosial melahirkan jenis manusia baru yang memiliki kredo ‘setiap orang adalah subyek yang berbicara’ dan ‘setiap orang adalah wartawan’. Meskipun mereka jurnalis warga, namun ada etika kewartawanan yang harus ditaati.
 Tiga etika serta prinsip jurnalistik. Pertama hormat dan perlindungan atas hak warga akan informasi yang terpercaya, jujur, dan sarana-sarana mendapatkannya. Kedua hormat dan perlindungan atas hak individu untuk bersuara, berekspresi, menjamin privasi, dan praduga tak bersalah. Ketiga jurnalistik berprinsip menjaga harmoni masyarakat dengan melarang semua bentuk provokasi yang akan membangkitkan kebencian, permusuhan atau kemarahan yang melibatkan khalayak.
Berita adalah informasi yang sudah terklarifikasi dan terverifikasi oleh wartawan. Sedangkan informasi media sosial bukan produk jurnalistik karena tidak melalui konfirmasi, verifikasi, dan klarifikasi.
Sekarang penyebaran kebohongan dengan menyampaikan disinformasi dilakukan dengan memoles informasi hingga tidak menampilkan kondisi sesungguhnya suatu hal. Bisa juga dengan menampilkan fakta lain yang tidak utuh hingga menyesatkan.
Dalam studi komunikasi, masyarakat sekarang sedang menghadapi pudarnya kemampuan berkomunikasi dengan diri sendiri (interpersonal communication). Perbedaan terbesar antara manusia dengan binatang adalah bahwa binatang bertindak murni atas naluri. Sedangkan manusia berdasarkan pertimbangan hati nurani, norma, nilai, dan etika. Manusia adalah mahluk yang mampu bertindak dengan sebelumnya berpikir tentang dampak dan konsenkuensinya.
Kebohongan harus dilawan dengan kebenaran. Kebohongan haruslah dibendung dengan berpikir rasional, meningkatkan kemampuan literasi, hingga kekuatan emosional yang mumpuni pada setiap individu.
Era internet juga melahirkan solusi kuat melawan kebohongan. Terbukanya berbagai informasi menjadikan kebohongan lebih mudah ditelusuri kebenarannya.
Pada politik, melakukan politik semburan kebohongan atau pipa pemadam kebakaran kebohongan (firehouse of falsehood) adalah cara-cara baru untuk dikenal publik. Propaganda ini menjadikan kesalahan data yang belum terkonfirmasi disebarkan secara berulang-ulang secara masif dan viral. Dampaknya akan terjadi kerusakan kemampuan bernalar. Pengulangan mengakibatkan khalayak bingung dan lagi percaya data. Keuntungan terbesar propaganda ini adalah menjadi populer meski keliru dan salah.
Penyebaran dilakukan secara berulang-ulang dengan memakai banyak saluran media, jumlah produksi konten yang tinggi dengan kecepatan, dan selalu tak konsisten.
Dan semuanya kebohongan itu di Indonesia dengan mudahnya diselesaikan hanya dengan permintaan maaf tanpa melalui proses hukum. Pasalnya setiap orang suka dibohongi. Mereka mudah memaafkan, tetapi belum tentu melupakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak