Berkatalah Sang Alkemis Tentang Hati
Ketika dia akhirnya di bertemu Sang Alkemis, sang pembuat
emas dan penjaga rahasia suci kehidupan, dia terpana karena hanya diminta
kembali belajar bicara dengan hati.
Sesuatu yang sudah lama dia tidak lakukan. Terakhir
bicara dengan hatinya, dia lakukan usai mendapatkan mimpi basah pertama
kalinya. Sesudahnya dia tidak pedulikan lagi soal apa yang dikatakan hati.
Dia lantas menjadi sama seperti orang lain. Bekerja
mengejar apa yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Dia melupakan tentang
hatinya yang sejak awal kelahirannya membicarakan tentang tujuan hidup dan
takdirnya.
Malam ini dia sendiri saja. Memandang langit malam dengan
bintang pari di selatan. Malam tergelap adalah adalah akhir malam menjelang fajar.
Perlahan-lahan hatinya mulai berbicara. Canggung pada
awalnya.
Sebelumnya Sang Alkemis berkata, “Sebagai manusia, kita
tidak akan pernah bisa lari dari hati. Dengarkanlah suaranya. Cobalah memahami
apa yang diceritakannya. Dengan begitu kau tidak perlu takut saat mendapatkan
pukulan kehidupan yang tidak disangka-sangka,”.
Menjelang berakhirnya malam, hatinya pun mulai berkata.
“Meski kadang aku suka mengeluh, itu karena aku ini hati
manusia dan hati manusia memang seperti itu. Orang-orang takut mengejar
impian-impian mereka yang paling berharga, sebab mereka merasa tidak layak
mendapatkannya, atau tidak akan pernah bisa mewujudkannya,”.
Kami, hati manusia, menjadi takut kalau memikirkan
orang-orang tercinta pergi selamanya, atau saat-saat mestinya indah tapi
ternyata tidak, atau harta karun yang mungkin bisa ditemukan tapi justru
terkubur selamanya. Sebab kalau hal-hal itu sampai terjadi, kami sangat
menderita.
Katakanlah pada hatimu, rasa takut akan penderitaan
justru lebih menyiksa daripada penderitaan itu sendiri. Dan tak ada hati yang
menderita saat mengejar impian-impiannya, sebab setiap detik pencarian itu bisa
diibaratkan pertemuan kembali dengan Tuhan dan keabadian.
Setiap detik pencarian adalah pertemuan dengan Tuhan.
Banyak yang percaya bahwa Tuhan bersemayam di dalam diri
semua orang yang bahagia. Dan kebahagiaan bisa ditemukan di mana saja. Dalam
batu, dalam air, dalam sebutir pasir. Semuanya itu adalah bagian dari
penciptaan dan alam semesta memerlukan jutaan tahun untuk menciptakannya.
Dan percayalah pula, setiap orang di bumi memiliki harta
karunnya sendiri yang menanti-nanti.
“Dan kami hati manusia, jarang banyak bersuara mengenai
harta itu, sebab orang-orang tidak lagi hendak mencarinya. Hanya kepada
anak-anak kami bicara,”.
Ketika sudah didengar lagi, hati membiarkan setiap
manusia hidup dalam jalannya sendiri, mengikuti alurnya sendiri, menuju
nasibnya sendiri. Tapi sayangnya sedikit sekali orang yang mengikuti jalan yang
telah disiapkan bagi mereka, jalan menuju takdir mereka, jalan menuju
kebahagiaan.
Sebagian besar orang menganggap dunia penuh dengan
ancaman dan akibatnya, sesuai anggap mereka, dunia ini benar-benar menjadi
tempat yang penuh ancaman.
“Maka kami hati manusia bicara makin pelan dan semakin
pelan. Kami tidak pernah berhenti bicara, tetapi kami mulai berharap perkataan
kami tidak didengar. Kami tak ingin orang-orang menderita karena mereka tidak
mengikuti suara hati mereka,”.
manusia tidak banyak yang mengikuti kata hatinya karena
takut menderita dan hati tidak suka menderita.
Sekarang yang perlu diketahui manusia, sebelum mimpi bisa
terwujud. Jiwa dunia menguji segala sesuatu yang kita pelajari sepanjang hidup.
Bukan karena dia jahat, melainkan agar selain mewujudkan impian-impian kita,
kita juga menguasai pelajaran-pelajaran yang kita peroleh selama perjalanan
hidup dan proses mewujudkan impian itu.
Di titik inilah biasanya manusia menyerah.
Setiap pencarian dimulai dengan keberuntungan bagi
pemula. Dan setiap pencarian diakhiri dengan ujian berat bagi sang pemenang.
Dia lantas bertanya kepada Sang Alkemis, apakah dia masih
memiliki hati?
“Aku masih punya. Karena hatiku yang menyeimbangkan
akalku,” jawabnya.
Disadur dari *Sang Alkemis: Paulo Coelho*
Komentar
Posting Komentar