#2019, GANTI HALUAN


Kepulangan saya, yang bisa dikatakan sedikit terpaksa saat lebaran kemarin, ternyata membawa saya pada cerita duka petani jeruk Banyuwangi.

Seorang sahabat saya yang sudah tiga tahun terakhir berprofesi sebagai petani jeruk menyatakan #2019 GANTI HALUAN. Jeruk sudah tidak memiliki nilai jual lagi. Ratusan juta modal yang ditanamkan sejak tiga tahun terakhir melayang entah kemana.

Booming buah jeruk melanda Banyuwangi sejak lima tahun terakhir. Dengan kisaran harga tertinggi bisa mencapai Rp7.000 per kilo dan terendah hingga Rp4.000 per kilo di tingkat petani menjadi buah berbulir ini menjadi komoditas pertanian yang menawan.

Alhasil, ribuan hektar lahan pertanian produktif yang jika dioptimalkan dengan tanaman padi menghasilkan ribuan ton. Berubah wujudnya menjadi lahan tandus yang berisikan ratusan pohon jeruk. Berpagar ketat pula.

Jika tidak percaya, mulainya menyusuri kawasan Selatan Banyuwangi dimulai dari Genteng. Sebelumnya pemandangan indah ribuan hektar sawah yang menyejukkan mata dan menjadi keindahan Bumi Blambangan hilang.

Lahan-lahan ini menjelma menjadi areal tanam jeruk. Satu dari dua buah yang lagi populer di kalangan petani selain Buah Naga.

“Sejak Januari lalu harga buah jeruk yang sebelumnya mampu menembus Rp7.500 per kilo turun menjadi Rp4.000 perkilo. Harga ini masih lumayan bagus, namun kendala utamanya pasar tidak lagi menyerap komoditas ini. Hasilnya ratusan ton buah jeruk dibiarkan masak dan membusuk di pohon,” katanya.

Karena dia hanya petani. Alasan pasar tak lagi menyerap adalah pembenaran yang kuat baginya. Sebab selama ini dirinya tidak berhubungan langsung dengan pasar, biasanya para pemborong buah yang melakukan pembelian.

Sebagai gambaran. Dia menceritakan pada masa panen raya yang dimulai sejak September hingga Februari, petani jeruk juga mendapatkan panen laba. Bahkan di saat buah jeruk belum berbuah semua, sehingga pasokan sedikit dan harganya tinggi, maka laba akan semakin meningkat.

Namun sekarang semuanya hanya tinggal mimpi. Lahan 300 meter persegi yang dimilikinya dengan kurang lebih 500 pohon jeruk musproh.

Kawan saya tidak menyangkal bahwa kalangan petani Banyuwangi masih memiliki sikap lantah. Selalu mengikuti dan mencontoh perbuatan yang mendatangkan kesuksesan bagi orang lain. Buah jeruk menjadikan kaya, maka semua ikut-ikutan menanamnya.

Pengamatan saya, yang lebih banyak di belakang meja, kehancuran komoditas jeruk Banyuwangi saat ini disebabkan dua hal.

Pertama begitu masifnya pola penanaman buah jeruk oleh petani yang menghilangkan lahan produktif. Mereka tidak memiliki sudut pandang bahwa ketika pasokan melimpah maka pasar akan cenderung akan kelebihan dan harganya turun.

Kedua, petani jeruk Banyuwangi tidak memiliki kesadaran bahwa saat ini di kabupaten lain juga memiliki areal-areal yang memproduksi buah jeruk lebih baik. Semisal Jember, Pasuruan, maupun Bondowoso.

Selain lebih dekat dengan pasar kota besar, bisa jadi kualitas jeruk yang dihasilkan dari petani kabupaten lain ini lebih baik. Mereka mampu mendapatkan pasar yang stabil meskipun terjadi panen raya.

“Saya kapok bermain dengan Jeruk. Tahun depan saya ganti haluan mata pencaharian membesarkan bengkel bapak. Ternyata ini pintu rejeki saya,” jelasnya.

Saya mencoba menantang, daripada dibiarkan masak dan busuk di pohon apakah tidak lebih baik disalurkan ke unit usaha produksi minuman yang mengandung jeruk yang pasarnya selalu membutuhkan.

Kawan saya ini menyatakan dia tidak memiliki jaringan. Jika pun ada, dia siap membantu baik dari sisi jaringan petani maupun penyertaan modal. Ehm ini sesuatu yang menarik bagi saya dan perlu dicoba.

Baiklah, saya hanya bisa menyarankan. Selama menunggu proses pencarian pembeli untuk pasokan minuman rasa jeruk, saya meminta dia mengembangkan tanaman ciplukan di sela-sela tanaman jeruknya.

Saya menjanjikan hal yang sama. Saya akan carikan pasar untuk buah ciplukannya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak