Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018

Cerita Sertifikat Rumah Saya!

Gambar
Membaca Harian Jogja edisi Selasa (26/3) di halaman Sleman, membuat saya terkejut. PN Sleman bersidang kasus wanprestasi antara pembeli dan pemgembangnya. Gara-garanya, pengembang tidak memberikan sertifikat sesuai ketentuan, padahal pembayaran sudah lunas. Yang menarik, pengembang digugat pembeli Rp1,5 miliar merupakan anggota aktif DPRD DI Yogyakarta. Baiklah. Kasus ini kondisinya sama seperti kasus perumahan saya. Perumahan Griya Kembang Putih, Guwosari, Pajangan, Bantul. Ditawarkan pada 2012 dan dibangun oleh PT Rumah Cerdas, yang Direktur Utamanya tertulis Danang Wahyu Broto, anggota aktif Fraksi Gerindra DPRD DI Yogyakarta. Ternyata   masih belum bebas dari masalah. Sudah enam tahun ini, sebanyak 113 rumah melalui KPR BTN Yogyakarta dan 10 rumah pembelian tunai belum ada sertifikat atas nama pembeli sama sekali. Tidak hanya itu, fasum dan fasosnya terbengkalai tanpa ada tindak lanjut dari pengembang. Selengkapnya baca, https://www.ucnews.id/news/Rum...

‘Tens TSR-810’

Gambar
Televisi itu sudah tiga tahun ini berada di antara ruang tamu dan meja makan rumah mungilku. Televisi itu pemberian saudara yang ada di ibukota. “Aku bawakan televisi yang lebih besar sebagai ganti televisi kecilmu itu. Biar kau leluasa menonton televisi. Aku sudah punya yang baru, mending kamu pakai daripada aku buang,” katanya empat tahun lalu ketika pertama kali menginap di rumah kecilku ini. Jangan tanya type atau inc berapa televisi itu? Yang jelas bukan seperti televisi lamaku yang hanya 14`. Entah 17`, 21` atau malah 24` aku tidak memikirkannya. Yang penting barang itu aku jaga agar tetap menyala. Sayangnya sejak anak gadisku mulai sekolah. Aku dan istriku memutuskan mematikan televisi. Alias tidak menghidupkan sama sekali dan putus kontak dengan siaran apapun. Nasional maupun internasional. Kami beralasan semua acara yang ditayangkan televisi sama sekali tidak mendidik. Entah acara anak-anak, dewasa, maupun pemberitaan. Kami tidak mau anak kami menghabiskan...

Jumali dan Gondrong Jawa

Gambar
Namanya Jumali saja. Tidak ada tambahan. Kecuali jika dia menikah, nanti akan tambahan bin di belakangnya saat akad. Dia wartawan senior koran lokal bidang olahraga di Yogyakarta. Pertama kali kenal pada 2008. Kami sempat satu kantor selama delapan tahun. Dia tidak banyak berubah. Selalu orsinilitas dalam pemikiran. Walau terkadang diremehkan, tetapi kepercayaan dirinya kuat. Perubahan terbesar dalam hidupnya adalah pemasangan plat di tulangnya karena kecelakan di Bantul, sekarang sudah dicopot dan motornya saja. Soal wanita dia tidak banyak berubah. Selalu kandas. Saya menyakini semua orang bisa mengenalinya dengan mudah. Hanya menyebut ciri-cirinya pasti ketemu. “Pokoknya rambutnya gondrong dan cari di seluruh stadion Yogyakarta, pasti ketemu,” kata rekan-rekan wartawan saat ditanya bagaimana menemukan Jumali. Saya tidak begitu yakin alasan Jumali berambut gondrong adalah mengikuti model. Rambut gondrong sekarang tidak banyak. Tetapi saya yakin kegondrongan r...

Banyuwangi, 203 Tahun Lalu

Gambar
Saat berselancar di dunia maya sore tadi. Sekilas saya membaca berita tentang Gunung Tambora. Sebuah gunung yang tercatat sejarah pernah menguncangkan dunia. Coba cek : https://travel.tempo.co/read/1071905/peringati-letusan-gunung-tambora-pendaki-akan-bentangkan-bendera . Intinya masyarakat di sekitar Gunung Tambora yang berada di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat ini ingin memperingati 203 tahun letusan hebat yang menghancurkan sejarah manusia di sana. Mereka akan naik ke puncak gunung yang memiliki ketinggian 2.850 meter itu dan mengibarkan bendera raksasa berukuran 203 meter. Saya tidak ingin mengulas panjang lebar tentang berita di atas. Demikian juga tentang sejarah Tambora yang memiliki arti “ajakan untuk menghilag’. Sebab sudah banyak buku yang membahasnya. Bahkan, menyambut 200 tahun letusan maha hebat yang disamakan dengan bencana Pompeii, Italia. Majalah National Geographic edisi Indonesia pada Maret 2015 mengangkat laporan khusus tentang gunung yang m...

Menyenangkan. Menggembirakan. Menyakitkan

“Kamu rasanya harus pulang ke rumah, ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kami membutuhkan bantuanmu. Entah pemikiran, entah tenaga. Kami percaya kamu bisa?” tulisnya. Pesan p itu masuk lewat fan pageku. Pesan dari kawan lama yang sekarang bergerak di aktivis pedesaan. Teman masa kecil yang menghabiskan kehidupan remajanya pada kesenian. Sampai sekarang saya belum berani membalasnya. Pertemuan terakhir pada akhir tahun lalu. Kami berbicara sebentar tentang kehidupan masing-masing. Dia tahu saya adalah penulis lepas yang membutuhkan uang dengan menjual hasil pemikiran yang diketikan. Anaknya sekarang tiga. Dia menikah muda. “Buat apa lama-lama menikah jika kita merasa sudah cocok dengan wanita yang dekat selama ini. Istriku sangat mencintai aku dibandingkan aku mencintai dia. Aku beruntung mendapatkanya,” jelasnya sambil menghidupkan rokok. Dia tidak banyak berubah. Lebih banyak diam dibandingkan bicara. Tapi sekali bicara masalah seriuspun akan dilade...

Waruga Dan Nilai Tubuh Manusia

Gambar
Saya berkesempatan berkunjung ke kumpulan kubur batu masyarakat Minahasa di Sulawesi Utara minggu lalu. Kubur batu yang berbentuk kotak oleh masyarakat lokal dinamakan Waruga. Terletak di Cagar Budaya Waruga Komplek Waruga Air Madidi Bawah, Sulawesi Utara terdapat sebanyak 45 Waruga yang dirawat secara berkala dijadikan sebagai cagar budaya. Waruga merupakan peti mati kubur batu yang digunakan untuk meletakkan mayat. Digunakan pada jaman batu (megalitik) abad 4 SM sampai 20 SM. Dalam kamus Tontemboan-Belanda. Waruga berasal dari dua kata “Wale” yang berarti rumah dan “Ruga” yang berarti badan hancur. Waruga diartikan sebagai rumah untuk badan yang hancur. Satu Waruga bisa digunakan untuk mengubur satu orang. Sebelum 1970-an, Waruga banyak ditemukan di lahan-lahan sekitar rumah panggung Suku Minahasa. Namun menyebarnya wabah kolera, pemerintah mengeluarkan kebijakan penguburan bagi yang mati ke dalam tanah. Akhirnya beberapa Waruga dikumpulkan di satu tempat, yan...