Perkenalkan, Namanya Dua Jaya
Saya cukup lamat mengingat
keberadaan bengkel konvesional yang bergerak dalam bidang perban-an itu. Sudah 18
tahun saya tinggalkan, namun kondisinya masih tetap sama seperti 10 tahun pengalaman
saya di sana.
Jika anda melintasi
Kota Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur dari arah selatan. Jember-Banyuwangi, maka
keberadaan bengkel itu mudah diketemukan. Usai jembatan Setail dari arah barat
dan dari timur sebelum jembatan.
Sudah dan mudahkan?
Atau kalau anda masih
kesusahan, langsung saja cari hotel Ramayana. Di sisi barat-lah bengkel itu
berada.
Di sana sejak 1994,
sebelumnya dua kali berpindah. Pertama di depan kantor pengadaian Genteng yang
sekarang menjadi Bank Mandiri. Karena pelebaran kota, bengkel dipindah ke barat
terminal.
Tapi dinilai tidak
membawa keberuntungan, bengkel lantas pindah ke tempat ini sampai sekarang.
Sebenarnya pemiliknya
memberi nama bengkel khusus perban-an ini ‘Dua Jaya’. Namun semua orang kota
kecil ini lebih nama pemiliknya ‘Subandi’. Nama yang melekat dengan profesi
pekerjaan.
Soal perban-an semua
orang mengakui Subandi adalah ahlinya. Bahkan ada anekdot, semasa dulu bahwa orang-orang
dibengkel ini adalah penambal ban paling ampuh. Semua kasus terkait dengan
perban-an bisa diselesaikan.
Semisal dop ban dalam
jebol, kami bisa mengatasinya dan bertahan lebih lama, sehingga anda bisa
menabung untuk membeli yang baru. Ban dalam sobek besar, kami bisa mengatasinya
dengan cara-cara rahasia yang hanya kami yang tahu. Atau ban luar robek
samping? Inilah yang sekarang dikembangkan pemiliknya sekarang karena nilai
profitnya yang besar.
“Jika mencari barang
jangan pakai mulut, tapi pakai mata,” itulah pesan yang selalu saya terima ketika
bergumul di sana.
Saya baru paham,
ternyata mencari sesuatu yang tidak tampak tidak usah pakai mata, tapi pakai
mulut.
Pemilik bengkel ini,
yang atas doa-doa semua orang masih hidup dan sehat wal-afiat. Bahkan membuka
satu bengkel lagi yang sama. Adalah generasi kedua dari tukang tambal ban baik
dari orang tua sendiri maupun mertua.
Anak-anak lelakinya
adalah generasi ketiga yang semuanya pernah mengalami bagaimana susahnya
mencari uang dengan menjual jasa. Sekarang ini baru ada satu generasi ke empat
yang sedang mengalami pendidikan di sana.
Di bengkel itu, saya
ditempa tentang bagaimana memberi pelayanan yang prima kepada pelanggan. Kesalahan
sekecil apapun yang merugikan pelanggan tidak akan ditolerir. Semua menjadi
tanggung jawab pelaksana tugas.
Di tempat itu saya
belajar membagi waktu antara dunia pendidikan dan pekerjaan. Karena tanpa
bekerja saya tidak akan pernah bisa pergi ke sekolah. Tanpa sekolah saya tidak
akan pernah memiliki pilihan yang membuat saya harus keluar dari sana.
Akhir Desember lalu
saya sempatkan merenung di sana, sesekali mengenang masa lalu. Ketika masih ada
radio dan koran. Ketika masih ada pohon jambu di atas atap yang setiap tahun
berbuat.
Ketika beberapa teman
yang memiliki waktu lenggang berkunjung hanya untuk sekedar berbincang. Padahal
mereka tahu, saat ada ‘pasien’ mereka akan saya tinggal dan masih bersedia
menunggu.
Di bengkel itu, kami
anak-anaknya diperkenalkan dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Saya memang
tidak banyak waktu untuk belajar. Seringkali dihabiskan untuk bermain saja.
Tapi kami selalu dibekali tekad meraih apapun yang diinginkan dengan semua daya
dan kemampuan.
Alat-alat utamanya
masih tidak banyak berubah 10 tahun terakhir. Semua dikerjakan manual dengan
tangan. Mungkin hanya sistem pembakaran untuk alat pres ban yang berubah, dulu
dengan minyak tanah sekarang dengan gas. Ya lebih cepat matang, lebih cepat
selesai.
Bengkel serupa banyak
tersebar sekarang. Bahkan beberapa didirikan oleh anak didik Subandi. Saya dan
dua saudara lainnya memilih jalan yang lain. Jalan yang tidak pernah disangka
oleh banyak orang.
Tanyakah ke semua orang
yang berumuran 50-an ke atas di Kota Genteng. Mereka akan bercerita, bengkel
tua itu memberikan satu cerita buat kota itu.
Ini adalah cerita buat “Dua
Jaya”.
Komentar
Posting Komentar