Bagi Saya, Ijen Tak Lagi Menenangkan
Sebelum terakhir
kemarin di puncak Ijen. Mendaki Ijen adalah pengalaman yang selalu akan
terkenang karena penuh kesan indah untuk selalu bisa dibagi.
Seingat saya, sudah tiga
atau empat kali, jika boleh saya sebutkan mendaki. Padahal cuma berjalan kaki
saja dengan beban yang tidak seberapa berat.
Namun pendakian pada 2001 adalah satu pengalaman
yang sampai sekarang selalu saya banggakan serta diceritakan ke setiap orang.
Bayangkan. Saat itu
jalan menuju Pal Tuding, posko terakhir menuju kawah Ijen, masih harus ditempuh
dengan berjalan kaki dari titik terakhir angkutan umum. Pondok Seng.
Dibutuhkan waktu hampir
enam jam lebih dari Pondok Seng ke Pal Tuding. Menyusuri jalan setapak yang
aspalnya terkelupas tak karuan.
Pondok Seng dan Pal
Tuding adalah kata kunci pendakian ke kawah Ijen dari sisi selatan alias Kota
Banyuwangi.
2001 selalu berkesan. Sepanjang
perjalan enam jam itu kami tidak berhenti ditemani hujan. Basah kuyup hingga
menembus baju ganti yang tersimpan di ransel tidak menyurutkan langkah kami
berenam mencapai posko terakhir.
Tanah lapang masih
belum terbuka seperti akhir Desember tahun lalu. Yang ada hanya area yang
dipenuhi pepohonan dengan satu pendopo besar tanpa dinding serta warung
sederhana.
Itupun hanya
menyediakan kopi dan mie instan. Tiada yang lain.
Malamnya kami tidur
dengan kondisi melawan keras dinginnya kawasan pengunungan. Mengenakkan busana
setengah basah yang sebelumnya kami panaskan di atas api unggun.
Semua pakaian ganti, sarung,
dan baju hangat basah. Mengatasi hawa dingin yang menusuk tulang, terpal
plastik yang sekiranya sebagai alas tidur kami gunakan sebagian untuk selimut.
Enam cowok dalam satu
selimut di pendopo besar. Dingin masih saja menusuk tulang hingga jam naik ke
puncak tiba. Kami hanya tidur sejenak saja.
Bagi orang lama. Pasti
paham dan saya pastikan kangen ketika saatnya naik ke puncak tiba. Soal pemandangan
di atas, itu bonus saja.
Berjalan menuju puncak
gunung adalah soal kepercayaan diri. Mengalahkan ketakutan dan menunjukkan
kemampuan adalah soal keberanian.
Keberanian ini akan
semakin membara ketika perjalanan ke puncak berbarengan dengan orang-orang pencari
belerang yang di malam yang sama menginap di Pal Tuding.
Bermodal obor berbahan
minyak tanah sebagai penerang utama. Perjalanan seperti berpacu dengan waktu.
Bagi pencari belerang semakin cepat sampai puncak, peluang mendapatkan belerang
dalam bongkahan besar yang tercipta sehari sebelumnya semakin besar.
Bagi pendaki, terutama
pemula. Kecepatan langkah kaki mengikuti pencari belerang bertujuan agar tidak
ketinggalan cahaya. Walau terkadang harus terhenti pula di tengah jalan karena
kepayahan. Akan selalu ada sedikit bantuan dari pencari belerang untuk
memberikan cahaya.
Mengesankan. Perjalanan
berlangsung tanpa pembicaraan karena semua kelelahan menaklukan tanjakan
sepanjang 5,7 Km. Dari Pal Tuding-Puncak
Ijen.
Perjalanan maha berat
bagi pemula. Nafas seperti hilang. Tenggorakan seperti kerontang. Air satu
botol, dua botol seperti tanda tak berarti.
Memang puncak Ijen
menghadirkan segala keindahan alam Banyuwangi dari pinggir lautnya, dataran
rendahnya, hingga kecantikan matahari terbitnya.
Tidak usah membicarakan
api biru yang terkenal itu. Karena engkau akan dipaksa untuk menuruni kawah.
Itupun jika engkau punya tenaga. Cukup berdiam diri di atas puncak dengan
mengigil kedinginan dan menahan nafak karena sesak belerang adalah pengalaman
yang saya pastikan akan selalu dikenang semua pendaki Ijen.
Perjalanan turun
puncak. Dulu kita akan terpana dengan kekuatan para pencari belerang. Mengendong
belerang hingga bobot 100 Kg yang dihargai, dulu jika saya tidak salah, hanya
Rp750,-/Kg-nya.
Kita akan melihat
semangat pria-pria yang penuh tenaga menahan bobot pikulnya di jalan menurun
agar tidak jatuh. Pundak-pundak berotot dengan bekas luka dari bambu pikulan,
menjadikan hati setiap manusia meringis memberi belas kasihan.
Dari puncak yang
melelahkan. Beristirahatlah sejenak di warung satu-satunya sambil bersenda
gurau dengan pencari belerang. Tunggulah hingga pukul 11.00 WIB saat truk
pengangkut datang.
Usai ditimbang, bayar Rp5.000,-
per orang kita bisa turun dari Pal Tuding ke jalan raya terdekat untuk
mendapatkan angkutan umum.
Itu dulu. Ijen dulu
yang selalu terpatri dalam ingatan dan akan selalu saya ceritakan ulang.
Usai Natal 2018, saya
ke sana lagi. Bermobil. Perjalanan nyaman karena jalan yang sama 17 tahun telah
dibesarkan dan aspalnya halus tanpa lobang mengangga.
Pal Tuding yang dulu
sepi dan ketika menginap terlihat bintang-bintang, ketika cuaca cerah. Sekarang
penuh sesak dipenuhi cahaya.
Bersama dengan
berkumpul di depan api unggun serta memainkan gitar, sudah digantikan dengan
handphone yang memutar banyak suara musik sesuai selera setiap orang.
Jangan kencing sembarangan
sekarang. Bukannya pamali karena angker. Tapi malu karena akan banyak dilihat
orang. Toh sudah ada ponten umum dengan beberapa bilik kamar mandi. Membayar dan
antrinya panjang, karena bersamaan banyak orang ingin kecing.
Sekarang. Jika anda
sampai sana dan masih kedinginan. Ada penjual sarung tangan tebal, syal, dan
masker jika nanti dipuncak tidak kuat menahan sengitnya bau belerang.
Seingat saya, sepanjang
perjalan ke puncak tidak ada lagi kediaman. Tidak ada lagi keheningan.
Beramai-ramai menuju
puncak. Anak-anak, muda remaja, dewasa, dan sedikit orang-orang berumur yang
nekat. Sumber cahaya tidak lagi obor. Digantikan barang-barang yang memancarkan
cahaya dalam waktu lama.
Dulu, keramaian muncul
dari guyonan ketika beristirahat sejenak. Sekarang sepanjang perjalanan, musik menganggu
ketenangan dan keheningan sebuah gunung. Mengusik telingga.
Ritual mendaki sangat
tidak menenangkan lagi.
Keterkejutan saya
bertambah. Perjalanan ke puncak tidak lagi bersama dengan pencari belerang.
Ternyata mereka sudah berganti profesi sebagai penyedia kereta dorong khusus
pendaki tidak ingin capek mendaki..
Ditarik tiga sampai
empat orang, dua-tiga orang di depan, satu di belakang. Begitulah cara
kerjanya. Harganya, sangat sangat mahal tak terkira bagi pendaki gunung sejati.
Ke puncak, harga berkisar
Rp500.000,- sampai Rp750.000,-. Tergantung bobot tubuh sang penyewa. Perjalanan
turun, harganya bisa separuhnya. Atau jika anda pandai menawar, bisa dapat dengan
dua lembaran kertas bergambar Soekarno-Hatta.
Jadi, sepanjang
perjalanan menurun, tidak lagi minggir untuk memberi jalan pembawa belerang. Sekarang
adalah kereta khusus orang yang mendahului.
Bobot penumpang sebesar
apapun masih ringan. Dibandingkan dua pikul belerang dengan pendapatan yang
jauh berbeda dari sekarang.
Saya tidak tahu sampai
kapan perubahan orang gunung terus berlangsung. Kabar terbaru, pemerintah
daerah segera membangun kereta gantung dari posko terakhir hingga puncak.
Tapi, kemarin saya
tidak melihat pondasi yang ramai diberitakan. Di puncak hanya ada pendopo
berbilik empat dan sebuah toilet. Tidak ada pondasi sama sekali.
Namun satu hal yang
masih sama sejak 17 tahun lalu. Di beberapa jalan menuju setapak menuju hutan,
jika masih kuat menahan kencing, anda akan menemukan beberapa kotoran manusia
di beberapa titik.
Menjorokkan. Tapi lebih
menjorokkan keberadaan sampah plastik yang tidak bisa diurai alam.
Kesepakatan tak
tertulis pendaki gunung sejati di manapun berada.
“Bawalah apapun benda
yang tidak bisa teruraikan alam dari puncak kembali ke bawah. Gunung bukan
tempat pembuangan sampah,”.
Catatan : Saya kehilangan banyak foto, ini yang bisa terselamatkan.
Komentar
Posting Komentar