Masih Menganggap Enteng Buku?


Pemikiran saya ini muncul seketika saat melihat perpustakaan mini saya. Terjajar berbagai buku yang sebagian besar sudah saya baca. Hanya sebagian kecil yang belum dibaca sepenuhnya seperti ‘The Histori Of Java’-nya Thomas Raffles dan buku kedua-tiga dari seri ‘Kuasa Ramalan; Pangeran Diponegoro’ Peter Casey.
Perlu saya tegaskan, tulisan ini ajang pamer. Tapi dengan kesadaran, saya ingin berbagi pengalaman dengan pembaca. Baik atau buruknya, bukan saya yang menilai tetapi panjenengan.
          Di meja kerja saya, berbagai buku tentang komunikasi media massa, terutama media cetak terhampar tanpa tersusun rapi. Dua buku baru, “Yang Hilang Di Yogya’-nya Sutirman Eka Ardhana dan “10 Pelajaran Untuk Wartawan’ masih terbungkus rapi belum terbuka.
          Saya masih ingat kegilaan membaca muncul ketika membeli “The Silent Of The Lambs’ Thomas Haris. Tokoh Hanibal Lecter dan Ngengat Tengkoraknya terpendam permanen dalam alam bawah sadar saya.
           Berbicara tentang budaya bangsa kita yang tertinggal jauh dengan negara-negara lainnya. Survei terakhir Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015, menghasilkan dari total penduduk Indonesia cuma 3,56 persen saja yang masih memelihara tradisi membaca. Ini menempatkan Indonesia dibawah negara serumpun, Singapura dan Malaysia.
          Perkembangan tradisi membaca tentu bukan menjadi ranah saya untuk mencari solusinya. Ini merupakan satu tugas pokok pemerintah. Terlebih lagi kehidupan era digital sekarang, berbagai informasi tersebar tanpa filter. Semua orang dengan mudahnya mengakses. Tapi tidak mampu menambah jumlah presentase kalangan pembaca buku.
          Membaca, terutama buku, adalah kegiatan yang membutuhkan kosentrasi sendiri. Membaca sering diindentifikasikan dengan kegiatan mengisolasikan diri. Waktu yang berjalan begitu lambat saat membaca sangat dibutuhkan dalam proses membaca karena kelambatan ini membuat manusia menjadi lebih selektif dalam memilih bahan bacaan.
          Berbeda dengan koran, majalah, atau tabloid yang menawarkan informasi berupa berita ringan, langsung, maupun mendalam ataupun internet yang hanya menayangkan berita sekilas.
          Kehadiran buku teks yang mendunia bersama dengan kehadiran mesin cetak menawarkan kedalaman, keutuhan informasi berikut dengan konteks yang menyertai suatu masalah. Buku secara tidak langsung menawarkan kepada pembaca untuk berdialog dengan penulis.
          Sikap kritis akan terhadap sebuah hal akan terus menjadi dasar pemikiran bagi manusia yang terus melestarikan tradisi ini.
          Di Indonesia, kehidupan masyarakatnya sangat luas biasa. Loncatan budaya yang terjadi tidak akan pernah kita temukan dalam sejarah negara-negara maju. Dari masyarakat berbasis pertanian, secara perlahan-lahan berubah di budaya literasi. Namun belum sempat budaya literasi berdiri tegak, hantaman dari dunia digital langsung menghajar tanpa ampun.
          Generasi milenial sudah tidak akan pernah mengakrabi lagi barang-barang cetakan kertas yang berisikan tulisan. Mereka terbiasa dengan tulisan yang disajikan dalam layar.
          Jamak diketahui, tradisi literasi yang ciri khasnya adalah membaca, sangat berhubungan erat dengan pengondisian otak melalui kegiatan baca maupun menulis.
          Bahkan membaca digambarkan sebagai sebuah kebudayaan suatu golongan manusia yang memiliki budaya tinggi. Budaya manusia yang cerdas, budaya bangsa yang maju.
          Persoalannya, budaya baca ini selama ini belum menjadi perhatian dari pemangku kepentingan. Buka-buku bacaan masih berharga tertalu mahal bagi kalangan masyarakat kelas bawah.
          Membaca melahirkan manusia-manusia pemikir. Manusia jenis ini adalah insan yang belajar melihat setiap peristiwa tidak sebagai sebuah ketunggalan dalam ruang hampa. Mereka adalah jenis manusia yang dalam berkegiatan selalu menghadapi tantangan dengan mengolah kenyataan dan menghubungkannya dengan sebanyak mungkin unsur yang terdapat di alam maupun sekitarnya.
          Pengalaman yang diterima manusia pemikir adalah pengalaman yang berada dalam satu keterhubungan dengan banyak hal lain di sekitarnya. Kondisi ini melahirkan sikap yang tidak mudah termakan informasi picik, sempit, sepihak, sepenggal dan sedikit. Mereka akan melakukan berbagai pengecekan dengan berbagai data yang sebelumnya didapat.
          Buku hadir dalam kehidupan manusia sebagai bentuk pemadatan pengetahuan dan pengalamannya sehingga bisa menjadi rujukan bagi manusia lain maupun generasi penerusnya. Satu buku selalu berhubungan dengan buku yang lain. Satu buku tidak akan menjadi sumber mala bahaya maupun sebaliknya.
          Buku pada hakekatnya akan membicarakan tentang benda, manusia, atau kedewaan. Kumpulan dari berbagai buku menyimpan pengetahuan yang melimpah dan terus akan dikembangkan oleh manusia-manusia lainnya. Perpustakaan tidak hanya sekedar menjadi sebuah tempat penyimpanan. Namun perpustakaan akan menjadi sebuah tempat yang membinggungkan.
          Perpustakaan menjadi tempat berbicang buku dan berbagai perkamen lainnya. Mereka akan bicara dalam kekuatan yang tidak dikuasai suatu pikiran manusia. Mereka menjadi suatu rahasia dari berbagai pemikiran. Buku-buku saling berbicang untuk kembali menghidupkan kematian dari mereka yang telah menghasilkan suatu pemikiran yang berguna bagi manusia.
          Buku tidak dibuat untuk dipercayai, tetapi untuk saling dipertanyakan. Dalam pertimbangan sebuah buku, pembaca tidak boleh bertanya dalam hatinya tentang apa yang disampaikan dalam buku. Melainkan pembaca harus mampu memahami apa yang dimaksudkan dalam buku itu.
          Buku tidak saja mengandung suatu kebenaran moral, alegorikan maupun analogikal. Buku mengandung kebenaran ide bahwa sejatinya ketidaktahuan adalah suatu kebajikan agung.
          Kebaikan sebuah buku terletak pada keadaan yang bisa dibaca. Sebuah buku terdiri atas pertanda yang berbicara tentang pertanda lain, yang pada gilirannya berbicara tentang banyak hal. Tanpa mata untuk membacanya, sebuah buku berisi pertanda yang tidak menghasilkan konsep sama sekali, karenanya dia bisu.
          Kehadiran buku, kemudian disusul teknologi semakin mempermudah kehidupan manusia untuk meraih pengetahuan. Dengan bantuan tehnologi, budaya baca dapat dikembangkan sepenuhnya untuk mendapatkan berbagai informasi yang sebelumnya sulit didapatkan. Buku dan tehnologi melahirkan orang-orang kuat jenis baru.
          Orang-orang kuat yang buka lagi bercitrakan kanuragan, maupun perkasa tubuhnya, layaknya tokoh-tokoh mitologi kebudayaan jaman dulu. Namun orang-orang kuat yang memiliki kekuasaan atas ide, jaringan, tehnologi, modal politik, budaya, sosial, dan ekonomi. Dampak kekuasaan orang-orang baru ini sekarang begitu konkret dan sangat dirasakan masyarakat umum.
          

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak