Sebaiknya......Kita Sedikit Tahu

Saya mencupliknya dari sebuah buku yang betul-betul membahas area Pasar Kembang, Kota Yogyakarta yang selama ini dikenal sebagai kawasan portitusi di Kota Gudeg. Tidak diakui secara resmi oleh Pemda, namun keberadaan Sarkem, akronim dari Pasar Kembang, mampu menjadi obyek wisata malam sekitar Malioboro.

Ketika masih di Bali, seorang pelaku pariwisata senior dengan tegasnya menyatakan dunia pariwisata di seluruh dunia itu hanya itu bisa berkembang pesat jika mengandalkan tiga faktor yaitu pasir atau pantai. Kemudian pemandangan indah saat matahari terbit maupun terbenam. Dan terakhir adalah seks. Di dunia pariwisata, ketiganya biasa dikenal dengan 3S (Sand, Sunrise/Sunset, Seks).

Jika sebuah daerah memiliki salah satu dari tiga faktor tersebut maka, bisa dipastikan kawasan itu mampu diandalkan mengeruk pendapatan dari dunia wisata. Tapi jika sebuah daerah memiliki ketiganya, bisa dipastikan mereka akan menjadi obyek wisata adalan sepanjang jaman. Salah satunya Bali.

Tapi saat, mungkin ke-3S yang saya maksud diatas sudah tidak berlaku lagi. Dengan kekreatifan para pelakunya, falsafat dasar pariwisata itu tidak terlalu diperhatikan. Kebudayaan dan obyek wisata yang memadukan keindangan serta inovasi kreatif saat ini lebih banyak mendominasi.

Namun ini bukan rahasia umum. Jika wisatawan yang datang, terutama kalangan lelaki ingin merasakan kehangatan perempuan di sebuah daerah yang dikunjungi. Sehingga mau tidak mau, portitusi yang hadir bisa menjadi obyek wisata baru selain tempat hiburan malam untuk tempat berburu gadis.

Tulisan ini tidak akan memandang rendah para penjaja seks komersial (PSK). Saya paham, kehadiran mereka dalam dunia esek-esek ini terjadi karena banyak faktor yang secara pribadi saya tidak bisa membantu. Bahkan jika saya punya uang banyak, mereka hanya saya ajak mabuk sambil karaoke saja. Selebihnya tidak.

Di DI Yogyakarta. Penyebutan para PSK begitu sangat beragam dan terkesan lucu. Memang setiap daerah beda dalam penyebutannya. Yang wajar saja, dengan 400 suku bangsa dan 1.230 bahasa daerah, Indonesia memiliki seribu keberagaman penyebutan mbak-mbak itu.

Sekali lagi, saya mencukil dari sebuah buku gratis dari kampus terkenal, penyebutan PSK di DI Yogyakarta itu sangat beragam. Mari kita mulai.

Pertama, Sundel. Penggunaan kata sundel ini lebih bersifat halus bila dibandingkan lonthe. Sundel merupakan kependekan dari Sundel Bolong yaitu mahluk halus perempuan berambut panjang dan memiliki tubuh yang mengiurkan. Namun dalam berbagai referensi dan cerita dari angkringan, sosok ini memiliki lubang (bolong) di punggungnya. Penyebutan sundel untuk seorang perempuan dalam kehidupan sosial ini merujuk pada perempuan nakal yang dianggap tidak mematuhi norma. Mereka dinilai mengoda lelaki manapun dengan kecantikan dan tubuh indahnya.
Kedua, wong nakal. Secara harfiah kata-kata ini merujuk kepada individu yang nakal dan tidak bisa diatur. Tapi jika dikaitkan dengan PSK, maka definisi yang lahir adalah perempuan yang usil, menggoda dan menganggu pria baik yang lajang maupun sudah berkeluarga, suka melawan aturan di masyarakat dengan melakukan hubungan seks dengan banyak orang.

Ketiga, ini adalah sebutan paling kasar bagi dunia pelacuran di tanah Jawa. Lonthe. Diambil dari nama sebuah binatang yang ketika siang berkubang di kotoran ayam dan ketika mulai gelap dia muncul menuju tempat yang terang. Panggilan ini mengambarkan wanita penjaja seks adalah orang-orang yang bergelimangan perbuatan kotor dan pencabulan yang selalu keluar saat malam hari di pusat keramaian.

Keempat, kupu-kupu malam. Saya kita semua sudah mengerti pemaknaan ini. Kupu-kupu dianggap sebagai binatang terindah dan terapuh. Menampilkan berbagai warna indah di tubuhnya, kupu-kupu di alam nyata sangat mudah ditangkap. Hidup dari berbagai bunga-bunga, kupu-kupu selalu berpindah setelah menyesap madu bunga satu ke bunga lain. Perempuan penjaja ini dianggap seperti kupu-kupu. Indah, rapuh, dan selalu berpindah jika sudah mendapatkan apa yang idinginkan. Bedanya mereka selalu keluar malam hari.

Kelima. Pelanyahan. Jujur saja, saya baru pertama kali mengetahui penyebutan ini. Berasal dari kata kerja lanyah yang berarti hapal sekali, terampil, dan lancar. Kata ini mengambarkan mereka yang mencari rejeki dengan menjual tubuhnya adalah seorang yang profesional dalam memberikan pelayanan maksimal kepada para pembelinya. Ketika puas, mereka minimal mendapatkan tips dari konsumen, syukur-syukur mereka kembali lagi untuk bermain panas.

Keenam. Ini yang agak membikin saya tertawa. Jika sebelumnya ada sebutan sundel, lah ini malah dikonotasikan dengan dunia supranatural yang menjadikan para penjual alat vital ini disebut dengan lelembut. Lelembut dalam budaya Jawa adalah mahluk-mahluk halus yang selalu keluar saat malam hari.

Ketujuh, para pelacur juga dinamakan cah golek duit atau bocah yang mencari uang. Kata ini merujuk pada skema kerja para PSK. Dimana dalam proses menjajakan diri mereka bergabung dengan ‘induk semang’ yang merupakan makelar dan penyedia tempat melakukan hubungan dengan klien. Untuk mendapatkan induk semang, transaksi yang terjadi adalah pembayaran sejumlah uang tertentu dari cah golek duit. Hubungan ini biasanya dikenal dengan sebagai hubungan orang tua-anak.


Besok kita lanjutkan lagi diskusi ini.......

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak