Media Vs Pemimpin

Ketika membaca berita tentang Prabowo Subianto yang menyatakan bahwa wartawan bergaji kecil karena dari muka kelihatan tidak pernah ke mall.(Baca https://nasional.tempo.co/read/news/2017/08/17/078900874/prabowo-sebut-gaji-wartawan-kecil-tak-pernah-belanja-di-mal)

Saya teringat tulisan di Kompas (13/8/2017)

Dalam artikel berjudul “ Perang Vs Media Ala Netayahu-Trump” dipaparkan dengan terang bagaimana kedua pemimpin besar itu menyerang secara terbuka kebijakan media massa yang selama ini menjadi oposisi di negara masing-masing.

Bukannya saya hendak membandingkan Prabowo dengan kedua pemimpin besar dunia itu. Namun dari pernyataannya yang langsung ditujukan kepada wartawan usai melaksanakan Upacara Benderan Kemerdekaan NKRI ke-72 di UBK Jakarta, saya melihat Prabowo menyerang secara halus kalangan media massa yang selama ini terkesan memojokan dia.

Jika boleh bicara terus terang. Apa yang dinyatakan Prabowo itu memang benar adanya. Sebagai sebuah pilihan, profesi wartawan adalah salah satu profesi yang menjadi kebanggaan karena mampu memenuhi idealisme seseorang terhadap kondisi dan keadaan yang terjadi. Wartawan dengan prinsip idelogisnya, mengeksampingkan peluang untuk mendapatkan uang lebih banyak di bidang lain.

Penggunaan logika dalam bekerja untuk menghasilkan tulisan yang bagus dan menarik, tentu saja sesuai fakta, adalah krido yang tidak bisa dilepaskan oleh seorang wartawan.

Semua data dan fakta yang ditampilkan tentu saja sudah memuat tentang sebab dan akibat.

Di Indonesia, dengan kondisi kemunduran bermedia massa yang semakin menurun tajam. Gaji wartawan tidak bisa menjadi andalan menjalani kehidupan. Itu nyata. Dan lebih realilistis lagi, hanya beberapa media besar di Indonesia yang mampu memberi pendapatan bagi wartawan untuk hidup lebih sejahtera.

Namun menjadi wartawan adalah soal menjaga harga diri. Menjaga kredibilitas sebagai penyampai kejujuran, pembawa keterbukaan informasi yang harusnya diketahui publik, dan menjadikan nalar publik menjadi lebih dialogis lagi.

Bagi banyak wartawan, silahkan ditanya di lapangan, kebahagiaan tidak harus didapatkan dari mall. Sama-sama sebagai pusat belanja, kebahagiaan juga bisa didapatkan dari pasar tradisional. Dan itu lebih nyata untuk memberdayakan masyarakat.

Pernyataan Prabowo saya anggap sebagai salah satu taktik menyerang media massa. Taktik ini kerap dipilih para pemimpin di negara-negara yang mulai cenderung otoriter.

Benjamin Netayahu, Pemimpin Israel, negara yang dianggap paling demokratris di kawasan timur tengah menjadikan media sebagai agenda utama dalam kepimpinannya. Netayahu menganggap, bahwa apa yang disampaikan media di sana terutama tentang berbagai macam kasus yang yang menyangkut dirinya adalah sebuah fitnah keji bagi dirinya maupun keluarganya.

Demikian juga dengan Donald Trump. Ditengah pemberitaan media Amerika yang sering mengulas data tentang ‘kebohongan’-nya, Trump dengan frontal menyerah media utama di sana melalui kicaunya di dunia maya.

Bagi Trump, media arus utama adalah ‘musuh’. Trump dengan kasarnya menuduh media menyebarkan ‘berita palsu’ dan para wartawannya ‘tidak jujur bekerja’ serta sering kali ‘mengarang’ berita.

Sebagai bentuk perlawananya. Baik Netayahu maupun Trump, sering kali tidak pernah mengelar jumpa pers dengan wartawan. Mereka menggunakan salurah pribadi di lini media massa serta biro pers negara untuk menyuarakan apa yang bagi mereka penting. Dan ini penting untuk melangenggkan kekuasaan.

Media juga tidak tinggal diam. Melawan Trump yang sering dianggap sering kali menyebar ‘kepalsuan’ dalam kepemimpinannya, media Amerika menerapkan sistem pengecekan data secara serius dan akurat. Mereka tidak sekedar mentah-mentah apapun yang dinyatakan Trump di depan publik. Mereka mengecek ulang dan membahas data dengan kenyataan yang ada.

The New York Times, bahkan memiliki data ‘Kebohongan Trump’.

Mengenai permusuhan para pemimpin negara yang sekarang otoriter melawan media, Eytan Gilboa profesor komunikasi dan politik Universitas Bar Ilan, Israel menyebut taktik yang dilakukan Netayahu adalah taktik cerdas.

“Mereka (Netayahu-Trump) sadar tentang citra negatif yang secara umum dimiliki publik dalam negeri. Dengan citra itu, mereka memanfaatkan media untuk menjadi musuh utama. Taktik ini dipilih karena mampu meningkatkan kepercayaan pada para pedukung mereka,” jelasnya.

Dengan tampuk kekuasaan yang ada di tangan, mereka dengan mudahnya mendiskreditkan media dan memberikan hasil tidak adanya kepercayaan lagi kepada media di pedukung utama mereka.

Tapi pertanyaan yang mengemukan sekarang, apakah dengan melakukan taktik serang media secara langsung ini bisa melangenggkan kekuasaan mereka?, tanya Gilboan.

Kembali ke Prabowo.

Dengan kondisi yang masih setengah berkuasa, dan mempertanyakan tentang kondisi wartawan. Prabowo terkesan memberikan pernyataan kepada para musuhnya, bahwa jika mereka ingin kaya maka pilihan terbaik adalah bergabung dengan barisannya untuk memberikan dukungan menjadi pemimpin di pemilu dua tahun ke depan.

Namun bila berkaca dari kedua kasus, bila dibandingkan dengan Indonesia. Taktik yang dilakukan Prabowo adalah kesalahan terbesar. Sebab pernyataan itu menjadi sarapan empuk media yang tidak menguasai arus utama, karena itu adalah isu murahan.

Bagi media arus utama, jika memang berkeinginan memberikan kritikan sebagai oposisi maka Prabowo seharusnya mampu menyerang pemerintah dengan data lengkap tanpa mengada-ada tentang kegagalan kebijakan yang diambil. Ini malah menjadi sebuah nilai berita besar ditengah keseriusan Jokowi menguasai media dengan gebrakan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.


Apakah tentang hal ini anda sepakat dengan saya?  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak