Laki-laki Penulis Cerita
Dia sekedar saja mengirimkan pesan meminta bertemu denganku di tempat itu. Aku menyanggupinya karena memang tidak ada kerjaan yang menunggu.
Tanpa banyak bicara, dia langsung bercerita. Dia memintaku untuk menuliskannya.
Ia mengaku, dia sangat baik dalam bercerita, namun tidak hebat dalam menulis. Sedangkan aku di matanya, adalah penulis yang hebat dan itu menjadi pertanda bahwa aku adalah seorang pencerita yang hebat.
Awalnya dia tidak menyukai hujan dan kegelapan. Buku-buku cerita dan novel kesayangannya hancur lebur diterjang banjir yang memporak-porandakan rumahnya saat dia masih di sekolah menengah pertama. Baginya buku-buku itulah yang memberi gambaran dunia yang lebih luas dibanding daya jangkau matanya.
Dia juga tidak menyukai kegelapan saat tidur. Dia bakal tidak terlelap ketika semuanya gelap gulita. Harus ada pelita kecil yang menemaninya tidur. Itu lebih baik dibandingkan dengan tidur bersama bayi-bayi tikus yang diungsikan induknya dibawah bantalnya saat banjir itu pula.
Sejak saat itu dia membenci hujan dan gelap. Jika dia menemukan kondisi keduanya, dia lebih suka diam membeku. Duduk terpekur tanpa bersuara. Bila di sekitarnya ada pengeret api, dia akan memainkannya. Bila tidak ada, dia menggosok-gosokan kedua telapak tangannya hingga panas kemudian menempelkannya di kedua pipinya.
Begitu terus hingga hujan mereda dan lampu kembali menyala. Menurutnya itu sangat melelahkan atau lebih tepatnya menjengkelkan.
Namun semua berubah, dia sekarang sangat menyukai hujan dan kegelapan. Saat kematian ibunya, dia tidak menemukan tempat yang tepat untuk bercerita dengan berurai air mata. Didikan ibu tercintanya, tidak pantas lelaki bercerita sambil menangis di depan orang.
Dia bertahan tidak menangis, ketika perlahan-lahan jenazah ibunya diturunkan ke liang lahat. Kebetulan hari pemakaman tidak disertai turunnya hujan. Dia bertahan tidak menangis semampunya.
Ketika hujan mulai turun, dia teringat mendiang ibunya. Dia pergi keluar, bersama dengan hujan di kebun belakang rumahnya di bercerita lantas menangis keras-keras. Itulah saat yang tepat mencucurkan air mata berbungkus topeng air hujan.
Malamnya, dia memberanikan diri mematikan seluruh sumber cahaya di rumahnya. Sendiri, dia harus berani sendiri. Karena tanpa ibunya, dia harus menjalani hidup sendiri dengan kondisi apapun. Dalam terang membahagiakan, dalam gelap siap bertemu angkara murka. Dia mempersiapkan diri.
Kebetulan hujan turun. Kesedihan dan keberanian bersatu dalam dirinya. Derasnya hujan dan gelapnya malam ternyata tidak terlalu menakutkan. Malah menciptakan tenang untuk peduli pada apa yang ingin diraih di ujung hari nanti.
Malam kemarin seharusnya adalah hujan terakhir. Pasalnya posisi matahari terbit cenderung ke utara, itu pertanda musim kemarau akan datang. Namun hujan seperti ingin menyapanya ketika dia kehilangan segalanya sekarang ini.
Kebodohannya, memang dia tidak terlalu pintar dan cenderung ambil resiko tanpa berpikir panjang. Istri dan putrinya meninggalkannya sendiri di rumah ini. Dia terlalu sering pulang dalam kondisi berhalusinasi tanpa batas dan tak sekalipun memberi kebahagiaan pada mereka yang menunggu di rumah.
Dia terkapar di ruang tamu, ruang kerja, perpustakaan dan tempat tidurnya di malam hari sendiri tanpa selimut. Di lantai dia mengaku menahan dingin sepanjang malam karena hujan tak kunjung berhenti membasahi bumi.
Dalam kondisi berhalusinasi, dia terkapar tidak bisa melakukan apa-apa.
Bunyi hujan di atap seng galvalum seperti irama yang tidak beraturan namun ritmenya menghasilkan sugesti berpikir yang indah. Menghadirkan kenyamanan yang tidak pernah didengarkan alam.
Dia terdiam. Dia seperti menyesal dalam gelap. Air matanya tetap jatuh di tengah kegelapan tanpa disertai tetesan hujan.
Komentar
Posting Komentar