Di Balik Paksaan Jilbab, Ada PR Besar Pendidikan Kita (Dua)

Aspek kedua; keculasan para guru-guru sekolah negeri kita.

Pemaksaan jilbab pada sekolah negeri tidak berdiri sendiri. Ada faktor kepentingan yang melahirkannya. Faktor-faktor ini tentu saja dilahirkan oleh para guru sendiri sebagai pengelola sekolah umum negeri dengan mengakali berbagai peraturan yang sudah diturunkan pusat.

Kasus SMAN I Banguntapan, membuka kesadaran publik ternyata para guru yang selama disanjung, dipuji, dan dihormati sebagai orang yang terhormat ternyata juga melakukan kecurangan.

Atas dasar pemenuhan nilai akreditasi sekolah, mereka dengan sepenuh hati melanggar Permendikbud 24/2014 tentang seragam sekolah. Dari tiga pilihan seragam yang seharusnya ditawarkan dan dibebaskan untuk dipilih anak didik, ternyata diterapkan hanya satu seragam saja.

Menggunakan jilbab dan tidak berjilbab bagi yang non muslim. Tidak ada pilihan lain. Skema ini menjadi pelajaran pertama bagi anak didik tentang cara-cara merampas hak asasi orang lain.

Tidak adanya pilihan penggunaan seragam sesuai aturan pusat ini menandakan ternyata guru-guru juga bisa orang yang paling tidak jujur yang pertama dikenal anak didik. Mereka mengubah aturan demi kepentingan pribadi.


Lewat perubahan aturan ini, guru-guru juga mengajari anak didik bagaimana cara-cara penguasan merebut hak dan memaksa kehendak pada orang lain. Memaksa dengan mengakali aturan resmi adalah pelajaran bagaimana melakukan kebohongan demi keuntungan pribadi.

Bahkan pemaksaan jilbab ini menjadi indikasi kuat guru-guru ini mengajarkan bagaimana caranya menjadi seorang pengecut dalam menghadapi ketidakadilan dunia.

Apa pasal mereka sejak awal masuk sekolah tidak berani menginformasikan adanya kebebasan memilih seragam seperti yang yang ditetapkan Permendikbud 24/2014.

Apa pasal pula mereka tidak menginformasikan ke publik bahwa setiap siswi muslim yang di terima di sekolah negeri wajib menggunakan jilbab?

Karena mereka takut. Karena mereka pengecut. Karena mereka tahu apa yang mereka lakukan salah melanggar aturan.

Para guru-guru ini tidak berani menghadapi dunia. Mereka melanggar aturan resmi pemerintah tanpa harus dihukum.  Mereka beraninya pada anak-anak, yang tentu saja takut pada kebesaran tubuh dan kuatnya kekuasaan mereka di sekolah.

Mereka beraninya merundung anak didik hingga jiwanya rusak. Merusak masa depan mereka. Merusak keberanian mereka menghadapi dunia. Para guru tidak berani menghadapi para orang tua atas masalah yang dihadapinya. Mereka takut diprotes dan disalahkan orang lain.

Mereka bertindak seperti dewa dan berpola pikir ‘Sayalah yang benar di sekolah ini’. Tapi ketika membutuhkan anggaran, mereka menjadi pengemis kepada orang tua.

Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka, para guru sekolah umum negeri, yang memaksakan kehendak pribadi dan golongan pada anak didiknya. Padahal itu jelas-jelas melanggar sumpah jabatan mereka sebagai pegawai negeri. 

Lah jelas to mereka pegawai negeri, tidak mungkin guru honorer berani membuat dan mengambil keputusan. Seharusnya para guru berprinsip penggunaan jilbab di sekolah umum negeri adalah pilihan, bukan paksaan. Dan pilihan itu tentu saja melibatkan orang tua.

Para guru sekolah umum negeri harusnya sadar, sebagai pendidik mereka seharusnya menghindari tiga dosa pendidik; perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual.

Aspek ketiga; berlogika dan bernalar anak didik Indonesia lemah

Membaca laporan Kompas hari ini, Senin (8/8/2022). Ternyata sebagian besar siswa SMP dan SMA/SMK negeri berkemampuan rendah pada literasi dan numerasi. Ini dibuktikan dengan semakin makin tingkat kelas, terjadi penurunan kemampuan menjawab soal-soal yang sudah dipelajari di kelas bawah.

Realitas rendahnya kemampuan ini karena dalam pembelajaran Matematika dan membaca, siswa tidak benar-benar belajar. Belajar Matematika tak belajar bernalar, belajar membaca atau pelajaran Bahasa Indonesia tidak benar-benar belajar memaknai.

Hal ini terjadi karena para guru yang mengajar mereka tidak menguasai dasar pengetahuan konten pedagogi. Sebuah fakta menyakitkan.

Selama ini para guru kita hanya peduli penampilan luar saja, tanpa memperhatikan isi. Tugas guru seharusnya adalah mengajarkan anak didiknya untuk berlogika dan bernalar dengan benar.  Kedua hal ini penting untuk menjadi bekal anak didik bertarung dalam kehidupannya di masa depan.

Berkaca pada kondisi ini, hanya mementingkan tampilan luar saja. Maka ketika dihubungkan dengan konsep ‘Merdeka Belajar’-nya Mas Nadiem Makarim. Maka pekerjaan rumah para guru-guru di sekolah umum negeri akan semakin berat. Saya tidak yakin mereka bisa menghadapinya jika masih terkungkung dengan pemikiran pendakwah.

Mas Nadiem sekarang ini menitikberatkan pendidikan pada kebebasan siswa untuk berprestasi pada bidang yang diminati. Para guru sekarang bertugas untuk mengenal, memahami dan mengarahkan apa yang menjadi minat dari para anak didiknya. Ini tugas yang berat, karena guru harus memahami setiap individu dan memberikan pembelajaran yang berbeda dibanding siswa lainnya.

Di kondisi sekarang, jangankan menerima perbedaan pola pikir anak didiknya. Para guru sekolah umum negeri ini malah menolak tegas perbedaan penggunaan seragam. 

Jika pola pikirnya masih berkutat pada ‘penyeragaman penampilan’, konsep yang ditawarkan Mas Nadiem ini tidak akan berjalan maksimal dan berujung pada kegagalan.

Saya hanya bisa berandai-andai, bagaimana bila di suatu waktu para guru menemukan mantan anak didiknya menjadi pengamen di jalanan, pencuri kambuhan, pemerkosa atau bahkan penjahat berkerah putih. Apakah mereka tidak malu karena gagal memberikan pendidikan yang benar.

Kegagalan pada pendidikan bukan semata-mata karena lingkungan atau tidak adanya kepedulian dari orang tua. Paradigma ini harus diubah. Para orang tua itu menyekolahkan anaknya untuk belajar menjadi orang baik. Tugas para gurulah yang harus menanamkan bagaimana cara berlogika dan bernalar yang benar.

Ketika anak didik mengetahui di kehidupan ini ada hal-hal yang baik dan benar, maka mereka akan sadar serta kecil kemungkinan berbuat negatif. Sebab para murid ini tahu tentang sebab dan akibat.

Ada kemungkinan pula, karena pola pikir yang berdasar ‘sebab dan akibat’, anak didik ini berani menempuh jalan panjang dan keras meraih pendidikan yang lebih tinggi ditengah meroketnya biaya belajar di universitas.

Saya tahu lewat tulisan ini para guru-guru, yang mengenal, kecewa dan sakit hati karena saya memperlihatkan keburukkan serta kebusukan dunia pendidikan pada publik. Tetapi saya yakin, mereka berterima kasih, karena lewat tulisan ini mereka terus diingatkan tentang tugas dan tanggung jawab mereka sebagai guru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak