Di Balik Paksaan Jilbab, Ada PR Besar Pendidikan Kita
Kasus pemaksaan jilbab oleh guru di SMAN I Banguntapan, Bantul terhadap siswi barunya bergulir begitu cepat. Seperti bola salju. Sejak mencuat ke publik, kasus ini mendapatkan perhatian yang begitu luas dan besar. Baik dari yang kontra maupun yang pro.
Usai
seminggu narasi dari yang kontra terus bergulir dengan menyalahkan pihak
sekolah dan kelengahan pemerintah daerah menegakan aturan seragam sekolah umum
negeri seminggu terakhir. Sejak akhir pekan lalu, narasi dari yang pro
penggunaan jilbab di sekolah negeri mencoba mengambil alih.
Dari
beberapa status kawan di facebook. Mereka menilai pemaksaan dalam dunia
pendidikan itu baik. Terlebih lagi yang dipaksakan adalah hal-hal yang baik.
Narasi yang digulirkan, jika ‘hal-hal kecil’ yang baik tidak dipaksakan dari
sekarang maka ‘hal-hal besar’ yang baik nantinya tidak akan dilakukan anak
didik.
Narasi
pro dan kontra ini, dalam kacamata saya sebenarnya ingin menghilangkan
substansi dari kasus ini karena ada banyak pekerjaan besar dalam dunia
pendidikan nasional kita yang seharusnya terus dibenahi. Narasi dari kedua
belah pihak ini mengarahkan banyak orang bahwa yang baik itu yang terlihat di
permukaan.
Ada
hal-hal mendasar yang seharusnya dipahami, bahwa apapun yang melanggar
peraturan yang disepakati bersama itu tidak baik.
Saya
adalah orang yang kontra dengan kebijakan tunggal seragam siswi muslim di
sekolah negeri berjilbab. Ada beberapa aspek yang ingin saya kemukakan.
Aspek pertama; sekolah umum negeri adalah ruang publik, bukan ruang privat.
Pemerintah
menghadirkan sekolah umum negeri dari SDN, SMP sampai SMA/SMK sebagai pemenuhan
hak kepada wajib pajak yaitu rakyatnya mendapatkan pendidikan. Kehadiran 20
persen anggaran pendidikan dari APBN sampai saat ini belum cukup memperbaiki
kualitas pendidikan kita.
Sekolah
umum negeri dihadirkan untuk bisa diakses seluruh rakyat tanpa memandang SARA.
Semua berhak menikmati pendidikan di seluruh sekolah umum negeri tanpa ada
perbedaan.
Banyak
kasus kewajiban penggunaan seragam jilbab bagi siswi muslim di sekolah-sekolah
negeri sepertinya mencederai tujuan mulia kehadiran sekolah negeri. Bukan
antipasti pada pendidikan agama, namun pemaksaan ini menghilangkan perbedaan
dan menghadirkan kesamaan.
Kesamaan
inilah yang akhirnya melahirkan
intoleran. Terjadi sekat-sekat identitas di sekolah umum negeri milik publik.
Ketika intoleran dan sekat-sekat itu lahir, maka penerimaan perbedaan tidak
akan terjadi. Siswa-siswa telah dilatih untuk membeda-bedakan serta dipaksa
mewujudkannya.
Bahwa
yang berjilbab itu adalah rekan sejatimu, yang tidak berjilbab itu bukan
temanmu. Yang berjilbab itu seagama denganmu, yang tidak berjilbab itu bukan
rekan seagamamu. Yang berjilbab itu sama denganmu, yang tidak berjilbab itu
tidak sama denganmu.
Jika
pola pikir ini sampai dilahirkan oleh tenaga pendidik di sekolah umum negeri,
maka hancur sudah negeri ini. Masa depan
sebagai bangsa kuat, yang menerima perbedaan sebagai modal pembangunan tidak
akan pernah tercapai.
Bila
ini yang terjadi di masa depan. Betapa naifnya dunia pendidikan sekolah umum
negeri sekarang.
Ingat
pada tingkat SMP dan SMA/SMK Negeri, untuk bisa menjadi anak didik di sana
diperlukan perjuangan besar. Para siswa bersaing keras mengalahkan puluhan
hingga ratusan rekannya dengan kompetensi kualitas. Mereka tidak meminta-minta
untuk diterima. Hal ini yang seharusnya juga dipikirkan para pendidik sebelum
melakukan pemaksaan.
Para
orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah umum negeri sadar, bahwa
pendidikan di sekolah umum negeri adalah yang terbaik jika melihat dari sisi
ekonomi.
Mereka,
termasuk juga saya, menilai dengan bersekolah negeri mereka akan mendapatkan
pelajaran dan pengalaman tentang perbedaan di lingkungan mereka. Anak didik
belajar bagaimana seharusnya terus berprestasi dengan menghargai perbedaan.
Jika
kami ingin menitikberatkan pendidikan agama pada anak kami, maka pilihan yang
paling bijak adalah menjadikan MTsn dan MAN sebagai sekolah utama. Ini sudah
jelas. MTsN dan MAN dihadirkan
pemerintah dengan tujuan jelas menguatkan pendidikan agama.
Atau
Jika ekonomi kami mampu, kami akan sekolahkan anak kami di sekolah berbasis
agama milik swasta atau pondok pesantren yang terbaik. Bukan di sekolah umum
negeri.
Sekolah
umum negeri harusnya menjadi ujung tombak dan garda terdepan sebagai institusi
penyemai keberagaman. Bukanya menyempitkan dengan pemaksaan.
Komentar
Posting Komentar