Selalu Mempertanyakan Banyak Hal, Termasuk Relokasi

 Saya memulai tulisan ini dengan penjabaran mengenai arti kata ‘Skeptis’.


Sederhana memang. Tapi bagi saya kata ini seperti memiliki sihir alami yang membuat saya selalu berpikir. Berpikir. Berpikir dan akhirnya menentukan pilihan sesuai dengan pengalaman, latar belakang serta tingkat referensi literasi yang saya miliki.


Dari KBBI online, sialnya kamus kamus besar cetak yang saya miliki tidak lengkap karena beli di shopping. Arti kata skeptis hanya dijelaskan dengan singkat; kurang percaya, ragu-ragu terhadap keberhasilan ajaran dan sebagainya.


Di sebuah laman berita, saya mencomot saja pengertian skeptis yang menurut saya sejalan dengan otak saya. Skeptis merupakan sikap yang mempertanyakan atau mencurigai segala sesuatu karena keyakinan bahwa segala sesuatu tersebut bersifat tidak pasti.


Biasanya sikap ini dominan dimiliki oleh orang-orang yang berjiwa pemberontak. Mereka tidak pernah percaya dengan kondisi atau keadaan yang ada di depan mata. Baginya kondisi itu tidak ideal. Ada saja yang selalu harus dipertanyakan agar jawaban yang diberikan bisa memuaskan atau minimal mencapai standar ideal mereka.


Di dunia akademis, sikap skeptis ini lebih banyak ditunjukkan oleh para peneliti. Sedangkan dalam profesionalitas, skeptis didera oleh para pencari berita. Ya wartawan. Sebab tanpa pernah menanyakan segala hal sampai detail-detailnya, wartawan tidak memiliki sudut pandang yang menarik untuk dijadikan uang.


Sudah. Sampai sini paham kan. Lalu apa hubungannya dengan relokasi?



Sebenarnya ini kedua kata itu tidak memiliki hubungan sama sekali. Namun sedari siang tadi kepala saya begitu berat memikirkan kaitan keduanya seraya menahan pegal-pegal usai divaksin ketiga.


Ya hari-hari ini, Kota Yogyakarta sedang hangat-hangatnya pemberitaan soal relokasi PKL Malioboro ke sentra-sentra yang sudah disiapkan. Ada dua lokasi, sisi utara dan selatan, yang masih di seputaran Malioboro tentunya.


Banyak alasan yang disampaikan pemerintah Kota maupun Provinsi agar relokasi bisa segera dilakukan. Cari sendiri saja beritanya. Dan tentu saja juga banyak alasan yang disampaikan PKL untuk meminta penundaan. Ini penghalusan kata dari menolak.


Berita ini bahkan diramaikan dengan munculnya PKL yang mendukung relokasi. Ada 444. Padahal sebelumnya, 2.336 PKL Malioboro meminta penundaan relokasi. PKL pun pecah.


Nah disinilah kata skeptis itu saya masukkan. Bukan apa-apa juga, tapi waktu dan konteksnya yang tepat memasukan kata ini.

Saya memiliki keraguan-raguan bahwa relokasi PKL Malioboro kedepannya akan menjadikan satu dari tiga sumbu filosofi DIY ini bakal menjadi seperti Orchard Road Singapura.


Pertama, akan perlawanan dalam bentuk yang paling halus yang biasa dipertunjukkan rakyat jelata Jawa saat tidak senang dengan keputusan, kebijakan orang yang dianggap Raja. Saya memprediksi Malioboro tetap akan kosong dari PKL.


Namun mereka yang kehilangan mata pencaharian, baik pedagang yang tidak mendapatkan tempat di sentra UKM sebab tempatnya terbatas maupun pendorong gerobak. Tidak akan pernah bisa berpindah dari profesi yang jauh-jauh dari Malioboro.


Mereka-mereka ini akan berdagang kucing-kucingan dengan petugas. Sebab bagaimanapun wisatawan lokal yang datang ke Malioboro adalah kue manis yang patut diperebutkan.


Jika nanti pemerintah tidak tegas dalam mengatasi pedagang, saya kira akan disebut ‘Liar’. Maka ini akan memicu orang-orang serupa melakukan hal yang sama. Intinya, tanpa ketegasan Malioboro kembali semrawut.


Yang kedua, ada ketidakpastian di otak saya, masak Malioboro akan terbebas sama sekali dari PKL?


Nah, atas asumsi inilah, kemungkinan besar pemerintah mencari sebuah pembenaran untuk mengizinkan beberapa lapak PKL berdagang di Malioboro. Tapi yang tetapi, lapak yang mereka gunakan haruslah sesuai kriteria yang ditentukan dan biasanya ada embel-embel iklan.


Buktinya, lihat di barat Kantor Pos titik nol. Dulu kumuh seperti apa. Dibongkar paksa dengan alasan estetika dan dinyatakan kawasan terlarang berdagang. Sekarang, atas izin pemerintah hadir kios-kios rapi yang tertulis iklan sebagai sumber pendapatan.


Melihat kompleksitasnya masalah PKL ini. Saya skeptis pemerintah daerah mampu mengatasi permasalahan yang timbul dalam jangka panjang nanti. Menghadapi ribuah orang yang lapar mencari makan, beratnya minta ampun.


Pengalaman saya, masalah persaingan becak motor versus becak pancal saja tidak pernah terselesaikan. Mengurusi sampah yang menggunung di berbagai sudut kota harus meminta bantuan pusat.


Apalagi mengurusi orang lapar..... 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak