Di Nalar Saya, Parkir Rp150 Ribu Itu Mahal Sekali Gusti
Hari ini saya bertemu teman lama yang akrab saya sapa ‘Gusti’ di restoran kecil di lapang luas daerah Pakem. ‘Gusti’, panggilan akrab jika kami bertemu. Saling timbal balik dan tak ada masalah.
Warga asli Kota Gudeg ini memilih bersemedi di daerah dekat Merapi. Katanya menenangkan pikiran dan berdampak banyak menemukan ide-ide di sela waktu yang tidak banyak kerjaan.
Kami berbincang panjang dan sampai di topik ‘Parkir Nuthuk Malioboro’ yang satu pekan terakhir ini menjadi berita hangat Kota Yogyakarta.
Kami sepakat, bukan soal cerita atau kronologis kejadian. Kami sepakat nilai yang dikeluarkan baik yang benar maupun rekayasa sangatlah mahal untuk tarif parkir kendaraan.
Mundur ke belakang. Kasus ini viral dari unggahan warganet di Facebook yang mengeluhkan dikenakan biaya parkir Rp350 ribu di jalan Margo Utomo. Keluhan dibuktikan dengan foto kuintasi yang dikeluarkan pengelola parkir.
Ini materi menarik bagi media. Langsung konfirmasi dan seperti biasa jawaban yang diberikan orang-orang di Balai Kota sangat-sangat normatif.
“Kami akan mengecek dulu apakah parkiran itu berizin atau tidak”. “Jika tarif itu dikenakan di area parkir resmi, kami akan menutup area parkir itu,”.
Itu kata mereka dan yang diterima saja. Mereka yang berwenang.
Menariknya, beberapa jam kemudian muncul berita resmi dari Polresta Yogyakarta. Bahwa di lapangan, polisi menemui kordinator parkir Ahmad Fauzi dan mendapatkan keterangan harga yang dituliskan di kuintasi itu atas permintaan awak bus.
“Rp350.000,- tersebut atas dasar permintaan dari crew bus tersebut, sedangkan petugas parkir hanya menerima uang sebesar Rp150.000,-,’ kata berita yang disandur dari rilis resmi Polresta.
He he he he..ini yang bagi saya tidak masuk urutan logika. Ketika pihak Pemkot menyatakan akan/bakal mengecek soal perizinan area parkir. Lah kok polisi memberi klarifikasi.
Urutan yang masuk akalnya, polisi membantu Dishub mengecek apakah lahan parkir itu punya izin atau tidak. Langkah polisi melakukan klarifikasi seperti manasbihkan mereka melindungi pengelola parkir. Asumsi umumnya, polisi ikut bermain di area parkir itu.
Sudah selesai. Jelas belum.
Kabar ini seperti membakar jenggot Bapak Wakil Walikota. Unggahan itu dinilai menjelek-jelekan citra wisata Kota Yogyakarta. Dirinya pada Jumat (21/1/2022) menegaskan akan membawa proses hukum siapapun yang terlibat di huru hara ini. Termasuk pelapor di medsos.
Pelapor akan diproses hukum. Waduh, betapa sengsaranya si pelapor itu. Sudah kena pukul biaya parkir masih diancam diproses hukum. Semua demi apa. Demi citra pariwisata Yogyakarta yang aman, murah dan tidak jelek.
Bola mengelinding terus. Dan kurang dari 24 jam, Wawali ini menyadari blundernya setelah dihajar habis-habisan oleh warga net. Ada pengacara yang siap mendampingi pelapor jika Pemkot memproses hukum.
Sabtu (22/1/2022), Bapak Wawali akhirnya merilis berita pihaknya tidak akan menuntut pelapor dan mengucapkan terima kasih atas laporan itu. Kontroversi itu disebut karena ada kesalahpahaman akibat kacaunya urutan kejadian dan cepatnya informasi menyebar di media sosial.
Selengkapnya ;https://www.gatra.com/news-534165-Hukum-dari-nuthuk-ke-markup-pemkot-yogya-jelaskan-soal-respons-ke-pengunggah-kuitansi-parkir-rp350-ribu.html.
Tapi dalam pemikiran saya, persoalan sebenarnya dari kasus ini soal nuthuk parkir. Ini sering kali terjadi dan selalu menjadi berita besar. Namun kok yang masih dilakukan. Memang biasanya jawaban umum yang diberikan untuk menenangkan masyarakat adalah ‘Aji Mumpung’.
Mumpung ramai wisatawan. Mumpung ramai bus datang. Mumpung UMR belum naik. Dan mumpung-mumpung lain yang dijadikan pembenaran.
Saya mendapatkan gambar tarif resmi parkir yang dikeluarkan Pemkot Yogyakarta. Lah dahlah, tarif parkirnya jauh sekali dibawah tarif parkir di kuintasi maupun yang katanya disetorkan ke pengelola. Bisa 10 kali lipat lebih murah.
Pantas saja karena jauh lebih murah, papan pengumuman tarif parkir tidak pernah terpasang. Sehingga siapa saja yang punya lahan di pinggir jalan beban menentukan tarifnya.
Bagi wisatawan yang sedang banyak uang, tarif parkir Rp150 ribu itu sangat, sangatlah mahal. Bahkan bisa paling mahal. Mungkin se pulau Jawa.
Melihat alur cerita dan kehebohan yang ditimbulkan. Saya menduga momentum, teks dan konteks mengenai tarif parkir yang ugal-ugalan inilah yang coba dihilangkan oleh orang-orang di Balai Kota dan Polresta. Bisa dikatakan, dengan semakin besar tarif parkir yang dikenakan, semakin besar pula setoran yang mereka dapatkan.
Ini hanya dugaan dan asumsi saja. Saya belum memiliki buktinya. Meski sudah menjadi rahasia umum. “Parkir Rp150 Ribu Itu Mahal Sekali Gusti,”
Tapi pelajaran yang mesti dipetik oleh mereka. Nitizen itu orangnya pintar-pintar dalam meluruskan kesalahan pemerintah. Mereka bisa menjadi hakim yang kejam ketika pemerintah salah bertindak. Bisa jadi mereka adalah orang-orang Jogja yang pintar dan namun terbiasakan diam di dunia nyata.
Komentar
Posting Komentar