Lakon Kehidupan, Tergambar Di Lima Jari (Satu)

Pernah mendengar atau membaca cerita tentang makna pengertian dari jari-jari yang kita. Lima jari yang disematkan Tuhan pada dua tangan dan kaki kita. Kiri dan kanan.

Saya pernah mendengarnya, dari seorang yang saya lupa namanya. Lupa kapan dia becerita. Namun tempatnya sudah pasti ingat, di bengkel ban.

Cerita sang pencerita, banyak tahun aku simpan dan belum pernah aku bagi ke siapapun.

Terhormatlah kalian yang membaca cerita ini. Cerita yang segera aku perdengarkan ini mengambarkan peran-peran manusia dalam kehidupan. Lima jari menjadi penandanya.



Bermula dari ping-sut.

Jika kita generasi X, lahir 1980-1990 an. Masa kecil kita pernah diramaikan dengan cara pengundian pemenang untuk memulai lebih dulu sebuah permainan.

Menggunakan tiga jari tangan. Ibu jari (jempol), jari telunjuk, dan jari kelingking. Kalian masih ingat aturan mainnya.

Sama seperti cara pengundian anak-anak millenial, yang sudah terasuki budaya YouTube. Batu-Gunting-Kertas mengantikan Ping-Sut. Karya kebudayaan adi luhung tanah Jawa. Karya yang memberikan pelajaran berharga akan sportifitas dan kebersamaan.

Dalam pengaduan di Ping-Sut. Jempol akan kalah dengan jari telunjuk, jari telunjuk kalah dengan jari kelingking, dan jari kelingking kalah dengan jempol. Sederhana, tapi memberikan rasa keadilan dan kepekaan bagi dua yang beradu menang.

Ping-sut selalu digunakan untuk menentukan pemenang dari dua orang. Selebihnya digunakan hompimpa. Adu menang dengan menyingkirkan orang-orang yang mengulurkan telapan tangan berbeda. Warna telapan tangan, entah sisi dalam atau luar, jika mendominasi maka bisa mengikuti terus undian.

Hompimpa berujung pada Ping-Sut.

Mari kita masuk subtasinya. Kenapa Jempol harus kalah dengan petunjuk. Petunjuk kalah dengan kelingking, dan kelingking kalah dengan jempol.

Karena Jempol adalah perlambang dari perempuan. Terpendek dan terbesar menjadi gambaran bagaimana peran perempuan dalam membentuk kehidupan. Dia memang pendek, dibandingkan jari lainnya, demikian juga dalam kehidupan. Tidak banyak wanita yang lebih tinggi dibandingkan pria.

Banyak kebudayaan menempatkan perempuan pada kelas kedua. Kelas belakang. Mereka seharusnya tidak terlihat. Perempuan harus berada dalam hegemoni para pria.

Namun karena peran perempuanlah kehidupan itu ada.  Mereka yang mengandung benih-benih kehidupan. Mereka yang membesarkan benih-benih itu dengan air mata dan kehidupannya sendiri. Para perempuanlah yang memberikan pengajaran pertama setiap anak manusia.

Perempuanlah yang melahirkan kehidupan, mereka pulalah yang bisa menghancurkan.

Cerita dunia tidak pernah terpisahkan dari kehidupan cinta. Lelaki berusaha mendapatkan perempuan terbaik dengan cara apapun. Perempuan dengan mudahnya menghancurkan laki-laki dengan perasaannya.

Satu-satunya kelemahan perempuan adalah pada harta. Banyak perempuan yang gila akan harta dan rela membiarkan kehormatannya terbeli. Mereka membutuhkan harta agar mereka terus hidup dan dihargai sebagai sesama manusia.

Bukan manusia kelas dua.

Dengan harta, perempuan berdikari. Dirinya menjadi mandiri. Lembut hatinya lambat laun bakal mati. Perasaan penuh kasih berganti keinginan menguasai. Wanita bisa menjadi segalanya dengan harta.

Lantas siapakah yang bisa memberikan harta untuk perempuan. Dari para pengusaha. Para pedagang. Para wirausaha yang sejak dulu pintar dalam mencari harta dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak