Sampahmu Terus Saja Menggangguku



Ketika mengontrak, saya tidak memiliki pilihan dalam membuang sampah rumah tangga, kecuali ke sungai kecil di barat rumah. Karena menyadari bahaya sampah, khususnya berbahan plastic pada lingkungan. Saya memilih membuang hanya sampah organic yang bisa diolah alam dibuang ke sungai atau perkarangan yang dimanfaatkan warga sebagai tempat membakar sampah.

Sampah produk plastic, saya pisahkan dalam kantong plastik hitam besar. Tiga bulan sekali, pagi berangkat kerja, kantong hitam itu saya ikat di belakang motor. Saya mencari tempat pembuangan sementara (TPS) di Kota Yogyakarta dan tidak lupa meninggalkan uang untuk kas untuk sampah yang saya titipkan.

Alhasil selama tiga tahun mengontrak, solusi mengenai membuang sampah itu saya tempuh. Sebab di Bantul, tempat saya berdomisili masalah sampah seperti tidak ada pernah ada solusinya. Bantul mencontoh Pemda DIY.

Terakhir saya mendengar, sudah ada perubahan di lingkungan mengontrak saya dulu. Warga sepakat membayar armada swasta untuk mengolah sampah mereka. Ini pula yang terjadi di lingkungan perumahan saya.

Tapi masalah itu belum selesai bagi saya. Saya terganggu dengan banyaknya sampah yang tersebar di sepanjang jalan masuk perumahaan dan banyak jalan di Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Orang Bantul tidak perlu TPS yang banyak. Masih banyak perkarangan yang kosong untuk digali, ditumpuk sampah, lalu ditimbun lagi. Pemda tak ada masalah dengan sampah,” kata Sekda Bantul Gendut Sudarto, medio 2009 silam.

Itu sebelas tahun lalu, saat jalan Bantul masih rimbun karena karena pohon rindang di sisi kiri kanannya. Itu sebelas tahun lalu, saat Bantul masih belum menjadi primadona properti.

Sekarang semua berbeda. Bantul menjadi kawasan cantik bagi semua bidang tidak sekedar property. Tapi beberapa perguruan tinggi di DIY memilih Bantul sebagai pengembangan bisnis edukasinya. Bantul ke depan mampu menandingin Sleman dan Kota Yogyakarta dalam perkiraan saya.

Tapi masalah sampah, Bantul masih sama saja dengan Sleman dan Kota Yogyakarta. Hanya mengandalkan Piyungan sebagai solusi akhir dan final. Padahal tempat pembuangan akhir seluas 14,3 hektar itu sudah melebihi kapasitas maksimalnya sebanyak 2,3 ton. Piyungan membutuhkan solusi tehnologi terbarukan dalam mengolah sampah.

Dalam pengamatan saya, bukan sekedar pemerintahnya yang tidak maksimal bekerja dalam hal sampah. Warganya juga sama. Mereka seolah-olah tidak peduli dengan sampah di lingkungannya.

Saya tidak tahu, mereka yang masih memilih membuang sampah di sepanjang jalan dan lahan kosong memang benar-benar miskin karena tidak mampu membayar armada swasta yang paling mahal Rp30 ribu sebulan. Atau memang kebinggungan karena tidak ada banyak tempat sampah gratis di Bantul.

Tahun lalu Pemkab Bantul, sempat memprogramkan ‘Bantul Bebas Sampah” namun program itu tidak maksimal karena alasan perilaku masyarakat dan ketersediaan infrastruktur. Dikatakan masih banyak desa-desa yang tidak memiliki TPS karena ketiadaan lahan. Masalah klasik karena sampah masih dianggap musuh oleh masyarakat.

Nah inilah yang harus dibangun. Kesadaran masyarakat tentang sampah. Banyak nilai ekonomisnya yang bisa diolah. Ya minimal melakukan sesuatu yang sederhana saja, memisahkan sampah organic dan non organic.
Kesadaran itu akan lebih mudah dibangun saat orang-orangnya memiliki kualitas pendidikan yang mumpuni. Saya begitu menyakini, di DIY hampir 50 persennya dari total 3 juta wargannya telah lulus minimal D-3.

Jadi pekerjaan rumah khususnya Pemda Bantul dan Pemda DIY masih jauh dari kata selesai soal sampah. Jika hulu tidak diperbaiki, maka kondisi hilir jelas lebih parah. Tidak sekedar menyiapkan infrastruktur sampah memadai, jika memang tidak bisa menyiapkan TPS. Berdayakanlah armada swasta yang jumlahnya ratusan itu untuk bisa memperluas area sasaran.

Beri mereka subsidi untuk meringakan anggaran operasinal, seperti menurunkan harga pembuangan sampah di TPA Piyungan. Atau kalau tidak, ajak warga pedukuhan di tingkat paling rendah untuk bicara tentang pengolahan sampah warga. Bisa jadi salah satunya menyiapkan lahan bebas kepemilikan untuk dijadikan TPS.

Jangan turut dilupakan gerakan bersih sampah di jalanan dan lingkungan harus didukung dengan keberadaan jargon-jargon yang menumbuhkan kesadaran kolektif.

Ini hanya sekedar contoh,” Otakmu Dimana, Buang Sampah Sembarang”, “Berpendidikan Kok Buang Sampah Sembarangan’ atau “Sampahmu Hargamu Dirimu. Jagalah Itu".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak