Soal ‘MU’, Kalian Suka Melebih-lebihkan
Caption : Suasana hari
pertama gelaran Muslim United pada Jumat (11/10). Sejak sore hingga larut malam
penonton terlihat memadati ajang tahunan yang kedua kalinya digelar di Masjid
Gedhe Kauman. Karena sesaknya, pengunjung memilih duduk-duduk mendengarkan
siraham rohani dari pembicara utama. (Kukuh Setyono)
Gelaran ‘Muslim United’
memanaskan suasana Yogyakarta dalam satu pekan terakhir. Viral di media sosial,
kondisi di lapangan cukup menegangkan di akhir pekan kemarin.
Pasalnya, meski dilarang pemilik
lahan Masjid Gedhe Kauman yaitu Keraton Ngayogyakarta, panitia pelaksana ‘Muslim
United’ terkesan memaksa dan nekad mengelar ajang yang tahunan yang kedua
kalinya.
Sebelumnya, gelaran ini dijadwalkan
berlangsung dari Jumat (11/10) sampai Minggu (13/10), memang tidak mendapatkan
ijin untuk penggunaan kawasan Alun-alun Utara dan Masjid Gedhe Kauman. Secara
teknis panitia membutuhkan ruang yang lebih lebar dibandingkan tahun lalu
karena mendatangkan berbagai ustad terkenal sebagai pembicara sehingga akan
banyak orang yang hadir.
Melalui berbagai pamflet
yang disebar panitia mengundang para ustad seperti Hanan Attaki, Luthfi Basori,
Adi Hidayat, Abdul Somad, Bachtiar Nasir, Salim A. Fillah, hingga Felix Siauw. Tidak
hanya kebutuhan tempat yang lebih luas juga diperlukan untuk menampung 140 stan
berbagai UKM.
Tapi untunglah, usai
penyelenggaran malam pertama. Info yang saya dapatkan, menjelang dini hari
Kapolda DIY Irjen Ahmad Dofiri ditemani perwakilan dari keraton Ngayogyakarta
menemui panitia. Pembahasan utamanya terfokus pada penghentian acara sepihak
dari panitia tanpa harus melibatkan aparat kepolisian.
Hasilnya, dua hari
pelaksanaan terakhir, gelaran ini sejak Sabtu (12/10) resmi berpindah lokasi ke
Masjid Jogokaryan. Tentu saja, panitia menyatakan kekecewaannya kenapa Keraton
sebagai pengayom dan pelindung masyarakat serta umat tidak memberikan alasan
penolakan.
Caption : Sejumlah
pekerja menyelesaikan pencopotan lampu saat panitia Muslim United memutuskan
memindahkan lokasi dari Masjid Gedhe Kauman ke Masjid Jogokaryan pada Sabtu
(12/10). Pemindahan ini menimbulkan kekecawaan kepada Keraton Ngayogyakarta.
(Kukuh Setyono)
“Kami kecewa. Jika sejak
awal memang tidak diperbolehkan. Kenapa pada 5 September lalu Keraton memberikan
ijin boleh dilaksanakan tapi pada 1 Oktober ditarik kembali. Padahal persiapan
sudah lebih dari 80 persen,” keluh Ketua Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Syukri
Fadholi sebagai pengagas acara.
Bagi Syukri, penjelasan
penolakan dari keraton ini sangat penting sebagai bahan evaluasi ajang tahun
depan yang ditargetkan masih bertempat di Masjid Gedhe Kauman. Jika memang
bintang tamu yang dihadirkan memang tidak sesuai dengan keinginan tuan rumah,
Syukri memastikan hal itu bisa dibicarakan dan tentu saja akan mendapatkan
solusi.
“Tanpa kejelasan dari
Keraton, yang mengakibatkan tidak turunnya ijin dari kepolisian. Kegiatan
keagamaan yang bertujuan menyatukan dan menumbuhkan ekonomi umat diisukan
sebagai penyebaran benih-benih radikalisme dan anti pemerintah. Padahal itu
tidak benar” jelasnya.
Baiklah, kiranya sampai
awal pekan depan ajang Muslim United tidak akan menimbulkan ketegangan baru
karena sudah menemukan tempat yang sangat solutif.
Tapi saya ingin bercerita
tentang, dugaan dan masih hanya dugaan, kenapa sampai ada kenekatan panitia dan
penolakan dari keraton. Sekali lagi ini masih teori konspirasi yang tidak
perlukan bukti apalagi konformasi. Hanya butuh percaya dan tidak percaya. Itu saja.
Pertama marilah kita
bicarakan tentang penolakan dari keraton. Info bawah tanah yang saya dapat menyebutkan
penolakan ini didasarkan dua alasan yaitu bintang tamu dan sewa lahan alun-alun
utara.
Kedatangan berbagai
ustad-ustad yang mendapatkan sorotan dari pemerintah dinilai keraton sangat
membahayakan citra lembaga tertua di Indonesia ini. Keraton berpikir,
kedatangan mereka bisa menumbuhkan kembali semangat keagamaan yang beberapa
tahun lalu berkembang pesat di Yogyakarta.
Keraton ingin menjadi
anak baik di depan pemerintah. Sebab mereka tidak ingin kejadian kecil ini
menjadi catatan buruk, apalagi sampai terjadi insiden bentrokan, penyerangan,
maupun ketegangan terbuka yang berpengaruh pada kehadiran dana keistimewaan
(Danais).
Sudah menjadi rahasia
umum, Danais yang setiap tahun digelontorkan pemerintah menjadi tambahan
masukkan yang sangat besar bagi keraton. Mereka tidak ingin Danais ini
berkurang apalagi dihilangkan karena dinilai gagal menjaga semangat persatuan.
Penolakan penggunaan
alun-alun utara tentu saja dikeluarkan karena keraton tidak ingin ‘meminjamkan’,
mereka mengijinkan bila ada kesepakatan ‘menyewakan’.
Diksi ‘meminjamkan’ ini
saya simpulkan dari edaran surat keraton yang menyatakan ‘tidak mengabulkan
permohonan’ kepada panitia dari Penghageng Kawedanan Hageng Panitrpura GKR
Condrokirono.
Dapat disimpulkan dalam
surat pengantarnya, panitia hanya menyampaikan ‘permohonan’ yang bila
diasumsikan adalah meminta bantuan. Kita tarik ke ruang yang lebih luas,
permohonan bantuan terutama terkait tempat adalah adalah soal pinjam-meminjam.
Berbeda jika panitia
mengajukan ‘akan menyewa’ pasti ijin akan diberikan. Wajar saja, sekali sewa
untuk kegiatan, harga alun-alun utara bisa mencapai Rp30 juta semalam. Nah panitia
akan mendapatkan dana segitu dari mana, wong semua acara gratis tanpa dipungut
biaya dan saya menyakini hasil menyewakan stan tidak cukup untuk membayar sewa
alun-alun.
“Pantas saja, pentas
dangdut di akhir pekan sebelumnya diijinkan, wong mereka membayar sewa. Jika cuma
pinjam ngak diberikan, sekarang mereka (keraton) mata duitan,” kata narasumber
rahasia saya.
Mari kita masuk kenapa
panpel ‘Muslim United’ nekat mengelar tanpa ijin. Informasi berasal dari Balaikota
Yogyakarta, dan ngak usah dikonfirnasi karena saya tidak akan menyebutkan namanya
mesti kalian tembak mati apalagi hanya uang. Sepele!!!
Menurutnya, kenekadtan
ini terkait dengan tidak adanya pasar malam perayaan sekaten. FUI dikenal
sebagai penguasaan alun-alun utara. Semua lini ekonomi tingkat bawah mereka
kuasai. Mulai dari perparkiran, sewa lahan sampai keamanan. Intinya mereka aalah
penguasa.
Saat alun-alun dilarang
digunakan sebagai parkir kendaraan, mereka melakukan negosiasi dengan Pemkot
Yogyakarta. Tidak akan menganggu berjalannya pasar malam yang berlangsung
sebulan asal diberi kesempatan mengelola pelaksanaan serta tetek bengetnya.
Hahaha, sudah mulai paham
kan maksud saya. Karena satu sumber pendapatan mereka hilang, maka dicari
sumber pendapatan yang lain. Ajang ‘Muslim United’ diperbesar dengan
menyediakan banyak ruang untuk stand dan mendatangkan banyak bintang besar.
Semakin terkenal dan
besar bintang tamunya, semakin ramai sewa makanannya, semakin ramai parkirnya,
dan semakin besar pemasukkan ke organisasi. Sekarang FUI sedikit kecewa karena
keuntungan itu dipindahkan ke Jogokaryan.
“Loh bukankan penolakan
itu muncul saat keraton mengumumkan peniadaan pasar malam sekaten. Lalu hubungannya
di mana?,” tanya saya.
“Bosku, rencana peniadaan
pasar malam sudah menjadi agenda keraton sejak akhir tahun lalu. Namun pihak
pemkot tidak berani mengumumkan karena mereka tidak memberi alasan yang jelas. Jika
mengumumkan pertama kali, pemkot harus memberi alasan apa, wong selama pelaksanaan
pasar malam mereka tidak rugi apapun. Alun-alun kan hanya dipinjam,” kata dia
yang masih rahasia.
Jadi mulai sekarang, baik
di dunia maya maupun nyata, marilah kita tidak usah melebih-lebihkan. Jika info
yang saya dapatkan memang benar adanya. Maka pertentangan yang melibatkan
banyak pihak dan menyusahkan wartawan, karena panitia sebagai penanggung jawab
tidak bisa dikonfirmasi, ternyata hanya masalah ekonomi semata.
Selama malam dan percaya
atau tidak itu urusan anda!!!
Tulisan apa ini, gak bermutu dan tidak sesuai realitanya. Penulis yang hanya berhalusinasi dari otaknya sendiri. Tanpa mau mengorek informasi lebih detail, alhasil blog gak bermutu ini keluar dan menjadi sumber hoax. Buat netizen, jadilah orang yang cerdas dalam mencari info.
BalasHapus