Manusia Desa
Kebiasaan
orang-orang adalah bicara tanpa pernah menyampaikan bukti atau fakta. Semua berdasarkan
kisah-kisah yang terbawa angin. Disemai dari sumber-sumber tak valid, kemudian
disajikan menarik dan terkadang rumit untuk semakin berkembang, untuk kemudian diterbangkan
kembali oleh angin.
Terkadang
pembicaraan mereka bagaikan seni, satu bidang yang lahir dan memang ditakdirkan
harus rumit. Sebab jika seni tidak rumit maka itu bukan seni, melainkan kaligrafi.
Namun
hidup tidak semudah kaligrafi dan serumit seni. Hidup adalah sebuah upaya
memenuhi rasa ingin tahu dan hasrat terus belajar. Kedua hal itu, percaya atau
tidak percaya, bertujuan memperpanjang kehidupan manusia.
Suatu
malapetaka menyedihkan bagi orang-orang yang seharusnya dapat memberikan buah
terbaik inteleknya selama banyak tahun lagi.
Karena
pengetahuan tidak hanya terdiri atas mengetahui apa yang harus dan dapat kita
lakukan. Tetapi juga tahu apa yang dapat kita lakukan dan mungkin tidak kita
lakukan. Sayangnya, banyak orang yang menghabiskan usia senjanya dengan tidak
memberikan banyak karya-karya pengalaman hidupnya dengan anggun dan intelek.
Itu
memang suatu malapetakan nan menyedihkan.
Sebab
ketika usia sudah melewati separuh hidupnya, seluruh indera kita sepertinya
melemah. Mata yang dulu bagus dalam penglihatan akan melawan dengan mengeras da
pupilnya terus berusaha melawan untuk menyajikan pandangan terbaik.
Saya
tidak bisa membayangkan itu adalah saya. Menjelang separuh hidup saya. Tidak ada
satupun karya monumental yang hadir di tangan saya. Bre pernah menulis, ‘Buku
adalah mahkotanya wartawan,’.
Satu
decade kedepan adalah separuh usia saya. Saya merasakan ketakutan sangat,
sebagai satu atom bidang intelektual di sistem dunia ini, saya seperti mati
karena tidak menelurkan karya.
Sejauh
ini, berkaitan dengan membaca dan menulis, pada dasarnya banyak orang
terpelajar sudah mati setelah melewati musim panasnya yang kelima puluh. Sekali
lagi saya tidak bisa membayangkan.
‘Lahirkan
sebuah buku, saya sudah. Memang sudah saatnya kita membuat buku. Tidak lagi
berkarya dalam cemen remeh,’ kata seorang kawan.
Meskipun
buku adalah mahluk rentan yang bisa rusak oleh waktu, hewan pengerat, cuaca,
dan tangan-tangan usil. Tapi manusia wajib melindunginya.
Karena
lewat bukulah, meskipun dalam masa terbenamnya matahari. Buku masih menjadi
lentera dan cahaya, tinggi diatas cakrawala. Melalui bukulah manusia diajarkan
bagaimana memerangi kesombongan, kedengkian, dan kebodohan.
Rumah
tanpa buku. Seperti masyarakat tanpa kekayaan, benteng tanpa tentara, dapur
tanpa perabot, meja tanpa makanan, kebun tanpa rumput tumbuh, padang tanpa
bunga, pohon tanpa daun.
Tapi.
Kebanyakan bicara memang mudah. Hanya berucap tanpa harus melakukan tindakan.
Ada
sebuah keyakinan dari beberapa orang, bahwa untuk memulai menulis buku. Tentu saja
yang saya maksud bermutu bagus, kenyangkanlah dirimu dan keluargamu dahulu. Kemudian
lihatlah rekening tabunganmu, ada sisa dana berapa waktu. Karena itu adalah
batas waktu engkua menghasilkan karya.
Sekarang
saya hidup sederhana sebagai manusia desa. Saya tidak punya banyak uang. Hanya
cukup untuk bertahan hidup dan memberi makan keluargaku. Kurasa bagiku itu
adalah kebahagiaan sejati.
Kebahagiaan
yang harus terus diiringin dengan doa serta memuji Tuhan karena Dia telah
melepaskan manusia dari keragu-raguan dan membebaskan dari perasaa gelisah yang
memenuhi hati saat menjalani kehidupan.
Kita,
manusia, adalah mahluk lemah. Bahkan saat dikelilingi orang-orang suci dan jauh
lebih beriman. Yang Jahat masih memiliki kesempatan menyebarkan rasa iri
kecil-kecil, menimbulkan pertikaian licik.
Tetapi,
percayalah dengan doa khusus yang selalu dipanjatkan, semua itu kemudian
menghilang bagai asap oleh iman yang kuat. Tuhan senangtiasa berada di
tengah-tengah kita.
Komentar
Posting Komentar