Menghilangnya ‘Amis’ dan ‘Petik Laut’ Muncar


Bagi anak-anak SD angkatan 1900-2000, kata-kata Muncar sangat tidak asing. Di buku wajib ringkasan pengetahuan umum lengkap (RPUL) disebutkan Kota Muncar adalah kota kedua penghasil ikan terbesar kedua setelah Bagan Siapi-api, Riau.
Terletak di sisi timur-selatan Kabupaten Banyuwangi, Kota Muncar sejak dulu dikenal sebagai satu-satunya tempat pemasok ikan bagi kabupaten Blambangan. Bahkan hasil perikanan lautnya dikirimkan ke kota-kota besar di Jawa Timur lainnya.

Kata Muncar pertama kali saya dengar dari jalanan. Sebab setiap hari truk-truk berisikan ikan dengan bau menyengat selalu mampir ke bengkel tambal ban kecil kami hanya untuk sekedar menambah angin ban maupun tangki klakson.
Para supir ikan dikenal nekat, layaknya supir truk pengangkut lombok sekarang ini.
Dari Banyuwangi menuju Surabaya yang normalnya ditempuh 7-8 jam, haruslah ditempuh 4-5 jam saja. Kecepatan penuh dengan menekan terus pedal gas adalah syarat utama agar muatan tidak membusuk di jalan.
Cerita para awak truk kepada saya yang masih belum akil baliq. Kernet yang duduk di sebelah kiri wajib menaikkan kedua kaki di dasbhord. Ini untuk menghindari kecacatan kaki permanen saat truk alami kecelakaan fatal.
Namun pengalaman nyata dengan Muncar baru dirasakan saat menjelang kelulusan SMA akhir 1999. Wajar bagi pemuda di kampung kami merayakan malam tahun baru dengan membakar ikan. Wajar juga bagi saya dan rekan-rekan melakukan pemburuan ke pusatnya ikan langsung, Muncar.
Ikan Lemuru (Sardinella) bakar adalah disajikan utama menyambut tahun baru. Saat itu, mudah saja mendapatkan Ikan Lemuru di Muncar, karena setiap hari ratusan ton ikan dinaikan dari laut. Kami mendapatkan Ikan Lemuru seember dengan harga hanya Rp15.000. Kami seperti mendapatkan berkah.
Pengalaman kedua yang tidak akan saya lupakan tentang Muncar saat awal-awal menekuni dunia pewarta. Saya sempat mencicipi penugasan di Banyuwangi. Iseng-iseng saya mencoba berkunjung ke sana untuk mencari data.
Saya bertemu langsung dengan pencari limbah minyak ikan. Seorang bapak tua dengan kulit menghitam setiap hari mencari tumpahan minyak ikan di selokan pinggiran berbagai pabrik pengalengan. Kulitnya rusak karena dampak limbah. Saya kasihan sekaligus merasa jijik.
Sebagi tempat penangkapan ikan terbesar, Muncar tidak bisa dilepaskan dari bau amis. Hampir 24 jam penuh bau amis menyelimuti udara Muncar.
Tapi kondisi Muncar sekarang sangat berbeda dengan apa yang saya alami dulu. Meski sangat jarang berkunjung ke sana, namun apa yang terjadi hari ini di Muncar membuat saya berduka.
Saya sebetulnya tidak mengerti apa yang sedang terjadi di Muncar.
Bahkan saat libur lebaran kemarin, saat mendapatkan telepon dari rekan SMA yang berdomisili di kota ikan itu. Dia meminta bantuan hukum untuk mertuanya yang sudah enam bulan tidak digaji pabrik tempatnya bekerja.
Saya berjanji membantunya. Tapi belum saya lakukan sampai sekarang.
Laporan panjang di Kompas edisi 13,14 dan 15 Juni 2019 membuat saya sadar adalah sesuatu yang menjadikan bau amis kota ini semakin memudar. Para nelayan Muncar mengalami paceklik tangkapan.
Gerombolan Ikan Lemuru menghilang. Menghilangkan pendapatan penduduk Muncar. Muncar, dalam laporan itu diprediksi menuju kota sekarat karena kehilangan pendapatan utama.
Dalam rentan sepuluh tahun terakhir, jumlah tangkapan Ikan Lemuru anjlok dratis. Kalangan nelayan dan pabrik-pabrik pengalengan mengalami kesulitan yang sampai sekarang belum menemukan solusinya.
Penduduk yang dulu berprofesi nelayan, sekarang ada yang beralih pekerjaan sebagai kuli, buruh pabrik di kota lain, bahkan ada yang memutuskan ke luar negeri. Pabrik-pabrik memilih menutup usaha karena tidak ada bahan baku produksi.
Penelitan awal menyebutkan penggunaan pukat cincin dengan mata jaring yang terlalu kecil dan jumlahnya melebihi batas yang ditetapkan pemerintah penyebb utama hilangnya Ikan Lemuru. Tidak hanya itu, pencemaran dari limbah pabrik yang terjadi bertahun-tahun lamnya menjadikan laut sebagai muaranya tercemar dan rusak.

Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar, Dinas Perikanan Jawa Timur menyajikan data penurunan perolehan Ikan Lemuru dari nelayan. Pada 2009, tangkapan nelayan yang dilaporkan mencapai 28.446.134 kg.

Tapi pada tahun berikutnya, 2010, tangkapan mengalami penurunan hingga hanya tercatat sebesar 730.715 kg saja. Penurunan dratis yang sangat menyakitkan.

Angka ini terus menurun hingga akhir tahun kemarin, 2018. Meski sempat naik, namun jumlahnya tidak pernah mencapai angka perolehan Ikan Lemuru pada 2009.

Mengenai alat tangkap pukat cincin (purse seine), Pemprov Jawa Timur sebenarnya sudah melakukan pembatasan dengan hanya memperbolehkan 83 alat tangkap ini beroperasi di Selat Bali.

Tapi di Muncar saja tercatat 207 alat tangkap pukat cincin yang beroperasi!

Dari pencemaran limbah, memang laporan tersebut menyebutkan pabrik-pabrik pengalengan ikan yang dikonformasi sepenuhnya membantah telah membuang limbah ke alam langsung. Mereka telah menyediakan instalasi pengelolahan air limbah (IPAL).

Tapi sayangnya keterangan itu terbantahkan dengan data dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banyuwangi yang menyatakan dari total 60 pabrik pengalengan ikan, hanya 20 saja yang memiliki IPAL!

Pepatah mengatakan, ‘Ketika seekor ular telah masuk ke rumah, jangan pernah mencari bagaimana dia bisa masuk. Tetapi carilah bagaimana cara mengeluarkannya,’. Masalah sudah timbul, lalu bagaimana solusinya?

Masih dalam wacana, mengatasi kondisi pemerintah memberikan solusi bagi para nelayan menggunakan alat tangkap jaring insang (gilnet) dengan cincin mata jaring lebih dari satu inci sehingga mampu menjaring tuna ataupun tongkol.

Pemerintah juga mengusulkan para nelayan berpindah profesi salah satunya sebagai pengiat wisata. Mengingat kawasan Muncar masih memiliki kawasan dengan pemandangan yang indah. Tetapi hal ini menjadi tantangan berat sebab alam di sepanjang kawasan pantai Muncar telah rusak karena limbah.

Tapi usulan moratorium penangkapan ikan dalam waktu tertentu rasanya lebih bijak diterapkan. Pelarangan penangkapan ikan dalam jangka waktu tertentu selain memulihkan alam dan habitat ikan. Juga akan memberi pelajaran bagi penduduk Muncar untuk kembali memperhatikan alam.

Bagi penulis, kondisi Muncar sekarang ini akibat kecerobohan warganya dalam memanfaatkan kekayaan yang disediakan alam. Mereka sebenarnya sudah diingatkan dengan upacara ‘Petik Laut’ setiap tahun digelar. Upacara yang tidak hanya mensyukuri hasil yang diberikan alam, namun juga mengingatkan bahwa alam harus turut dijaga agar bisa terus memberi.

Kepada kawan yang menelepon kemarin, saya minta maaf tidak bisa membantu. Alam telah memberi hukuman. Tinggal bagaimana engkau dan juga masyarakat Muncar berubah dalam memberlakukan alam.

Jujur, saya masih rindu aroma amis dan serunya sedekah laut Muncar yang sudah mulai memudar.

 sumber : kompas.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak