Membaca Koran...


“Terkadang saya menemui beberapa orang yang menyatakan tetap membaca koran. Bagi mereka, koran merupakan bagian terpenting dalam menumbuhkan minat baca, warisan orang tua mereka. Sampai sekarang mereka masih berharap koran terus ada dan menjadi pegangan di era banjir bandang informasi,”. (Bre Redana dalam ‘Di Atas Prameks’)

Ketika masih di rumah, Bapak saya sering menegur untuk tidak membaca koran sebelum dia membacanya. Bapak adalah orang pertama yang wajib membaca koran di bengkel kami.

Bahkan ketika saya usai membacanya, Beliau kembali mengingatkan agar menata koran sesuai halaman. Tidak terpencar-pencar, sehingga ketika dibawa pulang bisa ditumpuk rapi di rumah.

Hampir delapan tahun lebih membantu di bengkel, seharipun saya tidak terlepas dari koran. Hingga sekarang Jawa Pos masih menjadi rujukan bapak mendapatkan informasi.

Saya kira, beliau tidak percaya televisi. Sebab pernah di suatu hari beliau berkata, “Menonton televisi menyia-yiakan waktu kerja dan istirahat kita,”.

Tradisi baca saya dibesarkan Jawa Pos. Dari Jawa Pos saya mengetahui adanya perang teluk, mengetahui perkembangan radio satelit, mengetahui mendalam peristiwa ‘dukun santet Banyuwangi’ dan lainnya.

Tentu saja rubrik hiburan ‘Opo Meneh’-nya Bogel menjadi rujukan pertama saat membaca koran Bapak.

Saya tidak tumbuh besar dalam dunia tulis menulis. Saya tumbuh besar dalam dunia membaca. Membaca koran.

Baru di pertengahan SMA saya mulai membaca buku tebal. Ada ‘Kasih Tak Sampai’, ‘Hikayat Hang Tuang’, ‘Salah Asuhan’ dan lain-lain yang tentu saja bisa dipinjam dari perpustakaan sekolah.

Buku-buku itu saya baca ketika hanya di bengkel saja, disela-sela waktu sengangg usai membaca koran. Karena di banyak waktu yang lain saya lebih banyak menikmati kesenangan masa muda.

‘The Silence Of The Lambs’-nya Thomas Harris, buku pertama yang saya beli.

Tradisi menulis saya tumbuh karena tuntutan kerja. Berkembang menjadi kebiasaan karena disemai banyaknya bacaan yang dikonsumsi. Saya bersyukur minat baca dipupuk terus Bapak lewat koran tanpa beliau sadari.

Di masa kuliah, saya tidak berlangganan koran karena tidak punya uang. Namun setiap hari Minggu saya sempatkan membeli Kompas dari uang sisa, sebagai upaya diverifikasi literasi. Jawa Pos masih menjadi bacaan harian di warung tongkrongan.

Dua tahun lalu saya berhenti berlangganan koran. Sejak putri saya masuk SD saya kembali berlangganan. Saya ingin menumbuhkan minat baca sejak dini melalui koran.

Buku dan internet, hal belakangan yang bisa kami sisipkan nanti seturut dia dewasa. Yang penting sekarang dia mulai ikut-ikut membaca, karena melihat orang tuanya lebih banyak membaca di rumah.

Masih kata Bre, koran saat ini memasuki ‘Senja Kala’ karena keberadaannya tergerus masifnya terjangan informasi internet. Bre meramalkan kedepan koran tidak akan pernah lagi menguasai keseluruhan bisnis informasi.

Koran akan berpindah jalur mengarap segmen pasar tertentu yang lebih sempit (niche market). Konsumen pasar ini lebih sedikit dan sempit karena bersifat spesifik. Meski begitu, jika digarap optimal, koran akan menemukan pembacanya yang paling setia dan loyal.

Koran masih tetap ada karena sifat yang bisa dipercaya (kredibel).


Memasuki dunia menulis, diperlukan kedisiplinan karena berhubungan dengan tradisi literasi. Dari literasilah dunia tulis menulis bermula.

Tradisi literasi berhubungan dengan pengkondisian otak melalui kegiatan baca tulis. Beberapa ahli menyatakan, semakin banyak membaca semakin kreatif, semakin sensitif, dan bahkan semakin saling menghargai.

Banyak literasi yang menyatakan membaca adalah bentuk kebudayaan tertinggi manusia. Dari membacalah manusia memiliki kecerdasan yang melahirkan kemajuan peradaban.

Dalam kondisi ini membaca adalah sebuah kebutuhan kehidupan, bukan lagi sekedar hobi yang dulu sempat saya tuliskan saat sekolah menengah pertama.

Bagi manusia berbudaya maju, apa yang didapatkan dari membaca merupakan literasi yang digunakan meningkatkan taraf kehidupan. Mental membaca mampu menghadirkan kejernihan pikiran dalam menghadapi sebuah masalah.

Dari membacalah manusia mampu membedakan kebenaran isi literasi yang dibacanya dan tidak akan mudah menyebarkan apa yang sudah dibacanya tanpa melakukan uji kebenaran. Membaca melahirkan sikap skeptis (keraguan) dalam pola pikirnya sehingga perlu pembuktian sebelum dimanfaatkan.

Kegiatan membaca berbeda dengan menonton dan mendengar. Membaca membutuhkan konsentrasi tinggi. Membaca identik dengan kegiatan mengisolasi diri, penuh kelambatan dalam prosesnya.

Namun kelambatan itulah yang menjadikan membaca menjadi penyeimbang melawan kabar dusta. Kelambatan dalam membaca melahirkan sikap memilih, apa yang ingin dan tidak ingin dibaca.

Membaca, selain kedalaman materi, keutuhan informasi serta pemikiran kritis yang menyertainya adalah buah yang bisa dinikmati. Menghadirkan sebuah refleksi untuk mendalami sebuah permasalahan tertentu.

Ini baik. Kebiasaan membaca serta merta akan melahirkan pola pikir yang tidak tergopoh-gopoh dan tidak mudah tertipu dengan informasi sekilas.

Koran sebagai sebuah produk jurnalistik, dimana sepenuhnya menyampaikan informasi lewat berita. Saya anggap sebuah literasi awal, keberadaan koran di rumah sangat signifikan.

Terlepas dari politik media. Kehadiran koran di rumah merupakan sebuah alternatif kegiatan mengisi waktu luang. Kegiatan yang awalnya remeh temeh. Tapi keberadaannya setiap hari menghadirkan kebutuhan untuk terus membaca.

Sedangkan buku, lebih banyak menawarkan kedalaman, keutuhan informasi, berikut dengan konteks yang menyertai masalahnya. Buku menawarkan dialog antara pengarang dengan pembaca. Dialog ini melahirkan sikap kritis.

Dari sikap kritis inilah manusia dituntut untuk terus berpikir.

Kegiatan berpikir adalah proses menghadapi dan mengolah kenyataan dengan menghubungkannya dengan sebanyak mungkin unsur sesungguhnya yang terdapat di dalam dan di sekitar kenyataan.

Berpikir menjadikan manusia mampu melihat sebuah peristiwa tidak tunggal. Ada efek timbal balik (klausalitas-sebab akibat).

Manusia pemikir tidak akan menerapkan tindakan picik, sempit, sepihak, sepenggal dan sedikit. Ia akan melakukan pengecekan dan konfirmasi atas data sebelum digunakan.

Ketidaktahuan melahirkan kebodohan dan keburukan. Hanya akal sehat yang mampu memberikan kejernihan pikir.

Seorang kawan berkata kepada saya, “Di tengah keterbukaan dan banjir bandang informasi, masihkah koran dibutuhkan? Dari internet tinggal tulis kata yang kita inginkan tanpa dituntut banyak membaca,”.

Dalam hati, “Selain literasi keluarga. Saya berlangganan koran untuk berbagi rezeki. Bagi mereka yang dengan sukarela dan penuh tanggung jawab bangun lebih pagi untuk mengambil dan mengantarkannya ke rumah,”.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak