Kenangan Akan Mantan


Dalam pembicaraan santai sore itu, Senior yang saya menghormati mengajukan pertanyaan sepele. Walau sepele, namun bagi saya butuh sekitar lima menit menemukan jawabannya.


“Apa kenangan yang kamu miliki atas mantan pacarmu? Atau jangan-jangan kau tidak pernah punya mantan?,” katanya.

“Aku pernah pacaran, tapi hanya sekali. Itupun menjelang akhir kuliah. Ya masa SMA-ku banyak kuisi dengan kenakalan agar jika sudah berkeluarga aku sudah bertobat,” ujarku.

“Jadi apa kenangan akan mantanmu?,”

“Sambal pecel. Baginya sambal pecel yang enak berisikan banyak kacang saat membuatnya. Awalnya aku tidak percaya,” kataku.

Sambil merokok saya bercerita, kami berpacaran jarak jauh. Jadi bisa dikatakan satu bulan sekali bertemu karena saya harus mengumpulkan uang dulu untuk berkunjung ke kotanya. Jadi seluruh biaya ke sana adalah jatah dua minggu makan siang hilang.

“Tapi demi cinta, semua sangat irasional dan kami berjalan hampir setahun,” lanjutku.

Barulah saya menyadari bahwa teorinya tentang sambal pecel itu benar ketika saya sudah bekerja dan tidak pernah lagi berkomunikasi dengan dia. Sambal pecel yang enak adalah yang mengandung banyak kacang tanah. Tak peduli jenis sayurnya apa.

“Kenapa sekarang kamu tidak mencoba berkomunikasi lagi. Hitung-hitung mengamalkan ajaran agama soal silaturahmi?,” tanyanya.

Aku kehilangan nomornya kang. Bahkan nomor rumahnya pun aku sudah lupa. Saya hanya mendoakan semoga dia selalu sehat walafiat dan senangtiasa bahagia. Kataku.

“Lah terus kenangan sampeyan akan mantan seperti apa? Aku yakin sampeyan banyak cerita dengan banyak mantan,” kataku nrocos.

Sambil tertawa, senior yang murah senyum dan ringan tangan dalam membimbing juniornya ini meminum teh jeruknya.

“Ya itu tadi, kenangan akan mantanku adalah silaturahmi. Tidak lebih,” ucapnya mantap.

Aku mengangkat alis sebagai tanda ketidak pengertianku.

Dia kemudian bercerita. Dia mengakui bahwa dulu semasa jaman sekolah dia cukup tampan, lumayan pintar, dan tidak sombong. Sehingga banyak teman ceweknya yang menyatakan jatuh cinta.

Wajar, di masa muda semua harus dicoba agar menjadi pengalaman di masa tua. Termasuk pacaran.

Pacar pertama adalah teman satu tingkat di akhir-akhir masa SMP. Setiap waktu luang selalu dimanfaatkan untuk bertemu. Tidak terkecuali di malam minggu. Dia mengaku kenal baik dengan orang tua pacarnya itu.

“Buktinya setiap main ke sana selalu diterima dan diizinkan keluar berdua. Ya tentu saja, pulang tidak boleh malam-malam,” katanya.

Namun sayangnya, memasuki masa SMA, hubungannya harus berakhir karena sudah tidak lagi satu wilayah. Jarak memisahkan mereka.

Tapi bagi senior ini, pacaran tidak boleh berhenti. Di SMA dia malah memiliki dua pacar. Untungnya semua putus saat memasuki masa kuliah.

“Namun sejak dulu saya tidak ingin memutuskan silaturahmi. Keberadaan handphone membantu kami untuk saling bertukar kabar. Bahkan hingga saat ini ketika kami sudah berkeluarga semua,” katanya.

Dia berpendapat bahwa silaturahmi dengan mantan, terlebih lagi keluarganya, adalah penebusan dosa sewaktu berpacaran. Baginya, selama berpacaran, gadis yang dicintainya harus merelakan waktu berkumpul dengan keluarga untuk menyenangkan pasangannya.

Mau tidak mau, dia mengatakan dengan tegas, saya mencuri waktunya bersama keluarganya. Dengan bersilaturahmi ini, dia menebus kesalahannya waktu itu. Bahkan dia terkadang main ke rumah orang tua mantan pacarnya, meski bisa dihitung dengan jari.

“Apakah saat bersilaturahmi atau katakan bertemu dengan mantan, tidak ada ‘niatan’ untuk mengulang masa lalu kang?” tanyaku.

Kuh, ketika kamu sudah dewasa dan pernah merasakan semua hal duniawi. Maka ‘niatan’ untuk mengulang masa lalu itu sudah tidak relevan lagi. Saya dan dia sudah memiliki keluarga dan jalan sendiri-sendiri. ‘Niatan’ itu harus kita singkirkan karena membuat kita tidak bisa berbuat adil dengan pasangan kita saat ini dan tentu saja keluarganya.

“Rasa cinta itu sekarang sudah menjadi rasa persahabatan bahkan lebih ke persaudaraan,”.

Sambil menikmati kacang rebus, Senior ini berkata. Dari silaturahmi itulah dia menyadari bahwa dirinya tidak akan pernah dilupakan orang tua pasangannya. Dia melihat mereka, orang tua mantan pacarnya, bersenang hati karena dijenguk lagi dan tidak dilupakan.

Saya sudah menganggap mereka sebagai ibu. Pernah saat salah satu orang tua mantan pacar sakit, saya yang mengantarkannya periksa. Ada kebahagiaan di mata orang tuannya. Dan saya pikir itu adalah tugas saya selama masih diberi kesempatan.

“Terus bagaimana sikap Mbakyu tentang hal ini?” kataku.

“Awalnya cemburu dan itu wajar. Namun lambat laun dia sadar bahwa saya lebih mencintai dia dan anak-anak. Dia percaya saya tidak akan memupuk cinta lama lagi,” ungkapnya.

Tapi yang penting, katanya, silaturahmi adalah sebuah cara yang indah untuk melupakan semua kenangan akan cinta lama. Bahkan menjalankan silaturahmi, di mata agama, kita akan mendapatkan banyak pahala.

“Cobalah kau cari informasi lagi tentang mantanmu Kuh dan berkomunikasilah sebagai sahabat atau jika bisa sebagai saudara. Toh wanita yang mau dengan kamu cuma dua orang, mantanmu dan istrimu. Pasti mereka akan sama-sama menyadarinya,” nasehatnya.

“Silaturahmi yo kang. Sebagai sahabat atau saudara?” saya mengulang lagi inti pembicaraan ini.

“Iyo,” jawabnya singkat.

Pembicaraan meriah itu diakhiri dengan kemunculan bulan purnama penuh di tengah padamnya lampu. Syahdu. Sayangnya kami tidak bersama dengan istri dan anak-anak yang kami sangat cintai.

*Kang....maaf. Nasehat panjenengan berputar-putar di kepala. Bagi saya ini harus didokumentasikan. Maaf tanpa meminta izin panjenengan.*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak