Sebuah Cerita Dari Bertamu


Baiklah. Saya akan memulai cerita ini dari sebuah perkara tamu-bertamu.

Jadi saya sengaja mengunjunginya sesaat sebelum berangkat memancing di sungai kecil di sekitar wilayahnya. Sambil mengopi dan saya merokok. Dia sudah lama berhenti merokok. Kami berbicara santai. Awalnya tentang kabar dan rencana saya hari itu mau ke mana?

Saya jawab saja, karena sedang tidak sibuk saya berencana mancing wader. Tapi sebelumnya saya ingin merasakan kopi buatanmu. Lumayan dapat kopi gratisan.

Dia lantas bertanya apa yang akan saya lakukan dalam waktu dekat untuk mendapatkan kesuksesan kembali?

Saya dengan tegas mengatakan bahwa saya ingin memiliki koran lokal sendiri di sebuah daerah. Harapan saya adalah daerah kelahiran Kabupaten Banyuwangi yang 28 tahun saya tinggalkan.

Mengapa memilih koran, bukankah saat ini sudah jelas bisnis koran diambang kematian karena serangan bertubi dari dunia online. Semua orang tidak membutuhkan koran untuk mendapatkan berita. Tinggal klik, semua informasi tersedia.

Bagi saya, secara bisnis memang koran sedang diambah senjakala. Banyak koran yang gulung tikar, atau katakalah koran yang ada sekarang ini hidup enggan mati tak mau. Tapi dari sisi sosial, koran masih mendapatkan peluang hidup.

Bukankan salah satu tujuan kehadiran koran adalah mencerdaskan masyarakat lewat berbagai berita serta tulisan menarik lainnya. Tetapi itu tidak mudah karena ini sepenuhnya adalah proses sosial yang imbalannya di tangan Tuhan.

Kemudian saya menceritakan sudut pandang saya tentang ketidakhadiran koran dengan miskinnya minat baca pada masyarakat sekarang.

Saat ini masyarakat hanya disungguhi berita sepintas yang saling terhubung di dunia digital. Kenapa demikian, karena ini adalah bisnis yang sepenuhnya mengandalkan ‘klik’ sebagai sumber pendapatannya. Semakin banyak klik, semakin banyak uang yang masuk.

Karena hanya disuguhi bacaan sekilas, masyarakat kita tidak lagi memiliki semangat untuk membaca berbagai tulisan panjang nan berat. Mereka inginnya seringkat dan seringan mungkin bobot tulisannya. Dampaknya, mereka enggan membaca buku. Padahal buku adalah sumber referensi utama pengetahuan.

Kita kembali pada kondisi sebelum tahun 2000. Koran dan berbagai media cetak menjadi sumber referensi utama bagi masyarakat mendapatkan informasi terbaru. Dari media cetak itu mereka tidak hanya mendapatkan berita saja, namun beberapa tulisan panjang pilihan redaksi juga dikonsumsi.

Lambat laun ini akan menumbuhkan semangat membaca. Membaca apa saja yang penting membaca dulu. Entah komik, entah buku, entah apa saja yang penting membaca.

Orang-orang seusia saya yang dulu dibesarkan dengan koran masih memiliki semangat membaca yang kuat. Berbagai buku bisa dilahap dengan mudah. Yang meskipun itu hanya 3-4 judul dalam setahun. Tapi itu lumayan dibandingkan dengan kondisi sekarang.

Lalu solusi mengatasi kemahalan harga kertas?

Bung, kata saya, masyarakat tidak akan peduli dengan kualitas kertas. Yang penting mereka bisa mendapatkan bahan bacaan yang murah dan bisa menjadi pengisi waktu luang. Itu teoriku.

Sama seperti kita dulu. Kita tidak peduli dengan kualitas kertas yang diberikan. Kita hanya perlu isinya bisa menambah pengetahuan kita dan terjangkau. Tidak lebih.

Syukur-syukur apa yang disajikan di koran itu tidak sama dengan apa yang disajikan di dunia digital. Salah satu contoh, berita tentang komunitas kecil daerah, kebudayaan, permasalahaan sosial yang berada dekat dengan pembaca, dan lainnya pasti menarik bagi pembaca kita.

Faktor inilah yang kemudian menjadi faktor kenapa saya memilih satu daerah saja sebagai basisnya. Banyuwangi bagi saya masih banyak yang belum tereksplotasi. Artinya pangsa pasarnya masih luas.

Selain itu, secara ekonomi Banyuwangi memiliki tingkat penghasilan rata-rata masyarakat yang lebih tinggi dibandingkan dengan DI Yogyakarta. Sehingga ketika dihadirkan koran dengan bandrol Rp5.000- berhalaman 24 atau 36 yang terbit seminggu sekali itu masih dianggap murah.

Dan itu akan semakin menarik jika redaksi koran mingguan ini mampu mencontoh sajian Tirto.id yang mendalam. Tidak usah tergantung pada hard news, namun pada soft news, indept new, investigasion new, maupun berita sastra.

Konsep ini yang menurut saya akan membesarkan koran ini dari sisi pembaca. Dari jumlah pembaca tetap inilah kita akan mencari pengiklan dan pendapatan lainnya. Sama seperti bisnis koran sekarang.

Soal penulis. Saya lebih menyarangkan menggunakan penulis lepas yang tidak sepenuhnya terikat. Namun dalam melaksanakan peliputan mereka harus mematuhi persyaratan yang kita berita. Ini untuk menjaga kepercayaan pembaca.

Masalahnya bung, proyek sosial ini membutuhkan modal yang besar. Tidak cukup hanya dengan Rp150 juta. Minimal dibutuhkan Rp250 juta untuk hidup enam bulan awal. Kenapa enam bulan adalah masa inkubasi sebuah koran bisa dikatakan hidup atau tidak.

Dan saya tidak punya modal sebanyak itu meski harus menjual rumahku yang belum memiliki sertifikat sekarang bung.

Terus rencana terdekatmu?

Hanya bisa menularkan lewat tulisan di blog-ku. Siapa tahu ada pembaca yang tertarik bergabung dan bersama-sama berjuang untuk menumbuhkan minat baca di masyarakat. Biarlah apa yang saya lakukan ini dinilai Tuhan, bukan dinilai manusia.

Habiskan kopimu dan segera berangkat mancing. Aku mau jemput anakku sekolah. Tetapi terus terang aku kangen ngobrol sama kamu seperti ini. Terkadang kami sedikit gila dan pemabuk. Tapi beberapa idemu cukup cerdas dan kamu bisa mengikuti pembicaraan lawanmu. Aku salut atas itu, katanya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak