Yesaya : Soal Politik, Anda Harus Belajar Lagi

Atas ajakan seorang kawan kami bertemu di sebuah restoran hotel kecil pinggiran Kota Jogja sore tadi. Saya perkenalkan nama, selazimnya ketika bertemu dengan orang baru.

“Saya Yesaya, salam kenal,” kataya singkat.

Saya sempat terkejut mendengar nama yang berbau kawasan Timur Tengah. Namun dengan sigap, dia menjelaskan bahwa Yesaya adalah seorang nabi setelah Nabi Musa yang diutus untuk menyatukan semua semua umat Yahudi bersatu kembali dan membangun kembali tanah yang terlah dijanjikan.

Awalnya pembicaraan terjadi secara formal saja. Dia bercerita menghabiskan waktu liburan di Jogja karena ingin saja. Sempat mengeluhkan kemacetan, namun baginya yang sudah entah berapa kali ke sini masih banyak tempat-tempat yang belum dijelajahi.

Kopi yang kita pesan akhirnya datang juga.

“Selain liburan saya juga punya proyek misi khusus di sini. Anda tertarik?” tanyanya usai menghisap kopi tanpa gulanya.

“Ehm, proyek apa jika boleh tahu?” kataku.

Sebatang rokok warna hitam produk lokal dinyalakan. Yesaya kemudian dengan lancar bercerita bahwa sekarang dia menjadi duta khusus dari Presiden Jokowi untuk mengalang massa di seluruh daerah guna mengamankan kemenangan di periode kedua.

Saya mencela. Bukannya dengan kondisi sekarang ini dan berbagai keberhasilan program, Jokowi sudah bisa menang di atas hitungan kertas. Saya pikir, dengan kondisi seperti ini, semua rakyat akan memilih kembali Jokowi untuk memimpin.

Yesaya tersenyum.

Benar, katanya. Namun anda harus ingat. Lawan politik yang tidak ingin Jokowi menjadi Presiden akan melakukan cara apa saja. Tidak sekedar lagi bernuasa SARA, namun mereka tidak segan membunuh agar Jokowi tidak berkuasa lagi.

Membunuh? Saya terdiam dan hampir tidak percaya. Kenapa harus membunuh, bukankah dengan melakukan kampaye hitam Jokowi sudah kalah?

Yesaya kembali menghisap rokoknya. Sialan, rokokku habis dan tadi tidak sempat beli.

Mas Kukuh, saya yakin anda adalah pendukung Jokowi. Minimal anda simpatisannya.

Jadi begini mas, katanya dengan mantap tanpa mengalihkan pandangan dari mata saya. Belajar dari kasus Pilkada Jakarta lalu, isu SARA untuk meraih kemenangan sudah tidak akan digunakan lagi oleh lawan karena masyarakat kita sudah semakin sadar dan dewasa. Masyarakat kita sudah tidak ingin terpecah-pecah lagi karena politik busuk demi kekuasaan.

Skema yang sama, memecah belah masyarakat masih tetap digunakan, terutama ajang pilkada tahun depan sebagai laboratorium percobaan cara-cara baru mereka tanpa menyinggung SARA lagi. Sebab keberhasilan memecah dengan SARA akan menjadi hantaman balik bagi mereka ketika menjadi pemenang.

“Entah cara apalagi, saya belum tahu dan sedang mencari tahu sekarang ini,” katanya menyakinkan saya.

Tapi dengan membunuh dengan menghilangkan nyawa manusia demi politik, bukankan itu akan menyebabkan konflik berkelanjutan yang lebih besar.

Yesaya kembali tersenyum. Dia mengambil rokok satu lagi menyalakannya dan usai menghembuskan asap mencecap kopinya dengan nikmat.

Anda sudah mulai paham, ujarnya sambil meletakkan gelas di tatakannya.

Membunuh di sini tidak seperti membunuh orang karena balas dendam atau sakit hati. Tapi membunuh dengan cara-cara yang menghasilkan keributan sosial. Contohnya, jika lawan politik Jokowi sekarang ini membunuh salah satu suku saja, maka peristiwa ini akan menjadi peluru tajam untuk menyerang pemerintah sekarang dengan dalih bahwa pemerintah tidak bisa memberikan perlindungan kepada salah satu anak bangsa.

Mereka akan menyebarkan informasi ini secara masif dan tidak kenal waktu melalui berbagai media yang ada. Jika ini dihembuskan terus-menerus ditengah kekalutan informasi, maka masyarakat kelas bawah yang selama ini hanya mempercayai narasi seseorang melalui dunia maya. Saya pastikan informasi itu akan diterima dengan akal sehat karena sesuai dengan fakta.

“Apakah mereka tega melakukan itu, membunuh saudara sebangsa demi kekuasaan?’ tanyaku lagi.

Yesaya berkata, anda ingat Fir’aun, Musolini, Stalin, Mao Zedong, Pol Pot, dan banyak pemimpin lainnya. Mereka membunuh saudara sebangsa dan sebahasa demi meraih kekuasaan. Dan hal itu mungkin saja terjadi jika tidak kita waspada mulai sekarang.

Saya mulai paham arah pembicaraan ini. Sebuah konflik diciptakan untuk meruntuhkan kepercayaan kepada pemerintah yang berkuasa agar meraih kemenangan dalam pemilihan. Kata saya.

Belum, anda belum paham, lanjutnya.

“Dalam berpolitik, kawan dan lawan itu tidak ada, yang ada hanya kepentingan. Dan untuk mencapai kepentingan itu, semua cara dilakukan. Entah bersih entah kotor,” jelasnya.

Di Indonesia, sekarang ini berpolitik sudah tidak lagi mengandalkan logika. Tapi agama sebagai kepercayaan bila memungkinkan dijual akan dijual. Padahal agama, bagi saya adalah urusan pribadi yang sudah diakui haknya. Tapi saat agama menjadi alat untuk merebut kekuasaan dan merubah dasar negara, kami orang-orang yang mencintai negeri ini akan bergerak.

“Lalu apakah militer tidak bergerak untuk menangkis serangan yang menghancurkan kehidupan berbangsa?” ucapku.

Mereka bergerak, namun dengan komposisi SDM yang terbatas, pergerakan mereka juga terbatas. Yang perlu anda ingat Mas Kukuh, beberapa kalangan militer saat ini juga ingin mengulang kejayaan mereka di masa orde baru yang mendapatkan segala-galanya karena dilibatkan oleh penguasa.

Presiden sekarang memang menempatkan orang-orang kepercayaannya di posisi penting militer. Hal ini dimaksudkan agar mereka mampu melakukan indetifikasi masalah sosial dan segera melakukan penyelesaian tanpa menimbulkan kegaduhan.

“Jadi, jika saya tertarik dengan proyek anda, apa yang bisa saya bantu?” kataku dengan tegas.

Yesaya hanya tersenyum. Saya yakin anda kecebong. Saya harus mencari tahu siapa anda. Tunggulah nanti biar saya hubungi.

Dalam perjalanan pulang, saya baru ingat dia tidak meminta nomor handphone saya. Lantas bagaimana dia menghubungi saya?




Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak