Balasan Untuk Senopati_Wirang

Kepada

Yth Senopati_Wirang
Dimanapun Berada

Salam hormat dan kenal.

Pertama-tama saya menghaturkan banyak terima kasih dan rasa hormat atas surat yang panjenengan kirimkan lewat email saya. Kang Wirang, mungkin panggilan ini saya rasa akan mendekatkan kita dalam diskusi selanjutnya, jika anda berkenan. Dan saya mohon anda berkenan saya panggil Kang Wirang.

Sebetulnya saya mencoba untuk menahan tawa tentang apa yang panjenengan ceritakan di awal surat kemarin. Teman anda menyarankan mengirimkan surat yang berisikan pemikiran pribadi ke saya karena menurut mereka saya adalah penulis yang berani menyampaikan hal-hal yang tidak banyak orang berani. Saya sedikit bungah atas sanjungan itu. Tapi saya adalah penulis biasa yang harus butuh banyak belajar. Bahkan tulisan panjenengan lebih berisi dibanding saya.

Sudilah saya jika diperkenankan untuk belajar ke panjenengan.

Kang Wirang. Saya sebenarnya tidak terlalu peduli dengan siapa dan bagiamanakan panjenengan. Namun di hati kecil saya, terus terang saya bersorak gembira mendapatkan surat anda. Ini sebuah korespondesi jaman lampau yang tidak banyak dilakukan manusia jaman sekarang. Berkomunikasi lewat tulisan untuk saling bertukas pikiran.

Membaca nama anda, Senopati Wirang, saya teringat akan tokoh utama dalam ‘Arus Baliknya’ Pramoedya Ananta Toer. Sama-sama memakai nama Wirang dan juga memiliki gelar yang sama Senopati.

Melihat pemikiran anda dalam surat itu, sama persis apa yang menjadi kekuatiran Wirang dalam Arus Balik. Dimana dia harus mempertahankan negaranya Tuban di ambang kehancuran Majapahit dari serangan kerajaan Islam Demak. Dia berjuang sepenuh hati dan meraih kemenangan dalam berbagai pertarungan. Tapi di akhir cerita, Wirang harus menerima kekalahan yang disebabkan penghiatan di dalam keraton yang selama ini dibelanya.

Wirang harus berdamai dengan diri sendiri, bahwa dia mengakui tidak bisa melawan perubahan jaman. Sebagai pria Jawa sejati yang selalu menjaga kehormatan dengan memanjangkan rambutnya, Wirang tidak ingin melawan dan mengasingkan diri ke ujung timur pulau Jawa sama seperti pelarian Majapahit lainnya.

Kang Wirang yang hidup di jaman now. Terkait pemikiran anda tentang kemunduran budaya Jawa karena serangan gerilya agen-agen kebudayaan Timur Tengah. Saya setuju sepenuh hati dan dari berbagai informasi, saya mengakuinya.

Namun perlu Kang Wirang perhatikan pula, sebenarnya bukan hanya kebudayaan Jawa saja yang mendapatkan serangan masif dari kebudayaan Timur Tengah. Kebudayaan lain di nusantara mengalami hal yang sama. Karena ketidakadanya kesadaran, kebudayaan itu tidak berani melawan secara terang-terangan. Beda dengan Jawa yang orang-orangnya pediam namun mereka masih mampu melawan dengan cara yang pintar.

Soal perkembangan Islam di Jawa, saya mencoba menyandur apa yang dituliskan oleh M.C Rickelfs dalam ‘Mengislamkan Jawa; Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang’.

Dalam bukunya, Rickelfs melihat bahwa semua bertentangan tentang kebudayaan Jawa dan Islam sebenarnya sudah berlangsung lama. Tidak hanya di takaran sosial, namun pertentangan ini sudah masuk ke ranah politis yang melibatkan Raja dan pendukungngnya. Penjajah dan jajahannya.

Selama puluhan tahun muncul kekacuan politik, rekonsiliasi antara indetitas, keyakinan serta gaya hidup Jawa dan Islam menghasilkan apa yang dinamakan sebagai ‘Sintesis Mistik’. Dalam batas-batas sufiisme yang luas, sintesis ini didasarkan pada tiga pilar utama, yaitu :

Pertama; Suatu kesadaran identitas Islami yang kuat, dimana dalam pemikiran masayrakat Jawa juga menjadi masyarakat Muslim yang taat.

Kedua; Pelaksanaan lima rukun ritual dalam Islam;  mengucapkan syahadat, shalat lima kali dalam sehari, membayar zakat, berpuasa wajib Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi mereka yang  mampu.

Terakhir; Munculnya kontradiksi dengan dua pilar utama. Meskipun masyarakat Jawa sudah memeluk Islam namun dalam prakteknya mereka juga mempercayai kepercayaan spritual yang menghormati penghuni alam gaib seperti Ratu Kidul.

Kang Wirang, soal mengislamkan Jawa ini dalam buku itu terkupas tuntas dan kita akan mengakui kebenarnya tanpa ada tendesi yang lain.

Penyebaran islam di Jawa akhirnya melahirkan sebuah polarisasi masyarakat. Dimana kaum Islam yang lebih saleh dan tidak mengakui kebudayaan Jawa karena tidak sesuai ajaran menamakan diri dengan sebutan kaum ‘putihan’. Mereka yang merasa suci ini menamakan orang-orang yang perlu dibimbing (menurut sudut pandang mereka) dengan sebutan ‘abangan’.

Namun orang Jawa yang tidak mengakui Islam sebagai agama mereka merasa senang dengan sebutan yang sebenarnya mengejek mereka. Bahkan hingga sekarang, kaum abangan ini masih ada dan terus berkembang di seluru pelosok tanah Jawa. Hasilnya dikotomi dua aliran ini menyebabkan masyarakat tidak memilik identitas kepercayaan yang pasti.

Hal ini disebabkan semakin intesifnya serangan dari kebudayaan luar, masyarakat Jawa semakin meninggalkan kebudayaan asli. Di persimpangan jalan inilah muncul aliran ‘lain’ yang memberikan kesempatan untuk mendekatkan diri ke Sang Pencipta.

Mangkunegara IV dalam Serat Wedhatama (Kebijakan yang lebih agung) mengkirik kondisi masyarakat yang semakin ke-Islaman dengan gambaran ‘Kaum muda yang membanggakan pengetahuan teologi mereka’ dan mereka itu ‘termasuk penipu’.

“Aneh sekali bahwa mereka mengingkari Kejawaan mereka dan dengan segala upaya mengayungkan langkah ke Mekkah untuk mencari pengatuan,” tulis Mangunegara IV.

Saya kira, soal sejarah keislaman di Jawa Kang Wirang lebih tahu dibandingkan saya. Tapi apa yang saya sampaikan diatas bisa kita jadikan dasar bersama tentang sebab dan akibat kondisi yang saat ini terjadi.

Benar kata penjenengan Kang soal invansi kebudayaan oleh negara-negara Timur Tengah karena motif ekonomi. Di tengah penurunan harga minyak dan perkembangan tehnologi terbarukan, negara-negara Timur Tengah, terutama Arab harus mencari cara mendapatkan pemasukkan. Dan kawasan Asia timur adalah pasar besar yang sejak berabad-abad lalu mereka gagal taklukan.
Saya menilai salah satu pemasukkan terbesar khususnya Arab Saudi adalah kedatangan ribuan orang dalam melaksanakan haji maupun umrah. Ini potensi besar akan devisa, karena jutaan orang mau mengeluarkan materi sebesar-besarnya atas nama agama.

Berbeda dengan Afrika yang rakyatnya masih belum mampu mengungguli materi kawasan Asia. Arab memilih Indonesia sebagai area perang kebudayaan karena mereka sadar kedepan peluang Asia menjadi penguasa dunia sangat terbuka lebar ditengah kemunduran kebudayaan barat.

Salam Tabik

Kukuh Setyono


Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak