0.36

Aku masih mengingatnya. Sebuah kacamata hitam, korek api Zippo, dan sebungkus rokok Ardath Softex terhidang pertama kali sebelum teh serta makanan ringan tersaji.
“Aku ingin kau membayar hutangmu yang sudah setahun ini tidak terbayar berserta bunganya penuhl,,” katamu penuh amarah.
“Tapi kita kan sahabat, berilah aku waktu untuk mencari uang guna membayarmu,” ujarku lirih agar tidak terdengar keras dari teras rumah ini.

“Kau selalu berjanji, berjanji, dan berjanji tapi tak pernah terpenuhi. Sebagai sahabat, aku tetap akan mengangap kamu sebagai sahabat. Namun soal uang dan bisnis, persahabatan hanyalah bonus saja tidak lebih. Saat ini uanglah yang memeng kendali kehidupan,” katamu dengan kasar. Aku masih ingat, itu memang ciri khas bicaramu.
Aku masih terus berpikir tentang alasan apa lagi yang ingin aku sampaikan agar ada waktu untuk mencari pinjaman lagi untuk membayar hutang kali ini. Otakku buntu tidak mau bekerja lagi. Aku menyerah.
“Bagaimana jika aku membayar dengan istriku?” ucapku dengan yakin.
“Kau memang bajingan bangsat dan tai keparat. Pantas saja, tidak ada orang yang sekarang memberikan hormat kepadamu. Kau selayaknya hidup seperti anjing. Asu,” raungnya tanpa peduli dengan kondisi dan situasi yang ada.
Keputusannya sudah bulat, jika sampai besok sore aku tidak membayar hutang itu, maka aku akan diusir paksa dari rumah yang masih kucicil.
Aku hanya pasrah. Tidak ada kata-kata yang aku keluarkan lagi. Demikian juga dia, sahabat yang kukenal sepuluh tahun lalu itu, pergi tanpa pamit dengan barang-barangnya tanpa menyentuh sama sekali sajian minuman dan makanan di meja.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak