Bertemu Paduka
Paduka tidak terlihat dengan jelas karena wajahnya tertutup tirai tipis di depan singgasananya. Seperti melihat siluet saja, Paduka dengan tenang duduk menghadap saya yang bersimpuh menyembah di depannya.
Padahal kenyataannya, Paduka tengah berbaring santai di belakang singgasana. Itu hanya patung yang dibikin serupa dan seukuran saat yang bersangkutan duduk.
“Bicaralah, kenapa engkau datang menghadapku hari ini?” katanya.
“Hamba menghadap untuk bertanya dan berkeluh kesah,” kataku dengan jujur tanpa banyak dibumbui kata-kata berbunga.
“Apa yang ingin engkau tanyakan, dan apa yang ingin engkau keluhkan?’.
“Yang ingin hamba tanyakan, kenapa doa-doa saya kepada Paduka tidak pernah terkabul. Dan yang ingin saya keluhkan kenapa hidup saya tidak pernah berubah meski bekerja keras,” ucapku.
“Engkau pernah berdoa kepadaku?” tegasnya.
“Pernah yang mulia, dan itu sudah saya hentikan ketika menyadari doa-doa saya tidak pernah Paduka kabulkan,”
“Apa isi doamu?”
“Sederhana saja yang mulia. Saya ingin memiliki banyak uang agar hidup saya dan keturunan saya tidak susah menjalani kehidupan di dunia bawah,”
“Apakah dengan memberimu banyak harta hidupmu akan berubah sesuai dengan apa yang engkau keluhkan?” tanyanya.
“Saya meyakini dan percaya seperti itulah halnya Paduka. Ketika kita banyak uang, banyak harga, kita akan mampu merubah hidup kita dan tak perlu bersusah payah bekerja keras,” aku bersikeras.
“Apa yang selama ini aku berikan tidak cukup? Atau jangan-jangan kamu tidak pernah bersyukur?”
“Apa yang harus saya syukuri Paduka, jika apa yang saya dapat sehari-hari harus habis di seketika di hari itu. Apa yang patut saya syukuri apa yang kita dapatkan tidak bisa saya tabung untuk masa depan keluarga. Lalu apa yang mesti saya syukuri,” aku mencerocos tanpa ada titik dan koma.
Aku memberanikan diri memandang patung yang duduk di kursi kekuasaan itu. Aku ingin mendekat, ingin kujambak dan caci maki. Tapi aku sadar, jika jarakku hanya semeter saja tanpa ada ijin dari Paduka ke kursinya, tombak dan anak panah para prajurit tertanam di tubuhku.
Tentunya aku akan mati untuk kedua kalinya.
“Aku pernah mendengar doa-doamu, dan soal keinginanmu soal harta melimpah tidak akan pernah aku kabulkan. Pada dasarnya kamu bukan serakah. Tapi kamu nakal,”.
“Aku paham bagaimana manusia ciptaanku bekerja, termasuk engkau. Aku beri engkau kekayaan seperti Midas, engkau kaya raya. Tapi engkau akan egois, bertindak demi kepentingan pribadi. Akan banyak orang yang celaka dengan egomu. Engkau akan sombong, pada sesamamu bahkan kepada Aku yang seharusnya setiap waktu engkau sembah,”.
“Aku tahu, manusia-manusia sepertimu kurang bersyukur atas apa yang Aku berikan. Manusia sejenismu selalu menuntut lebih, menuntut lebih tapi tidak pernah tahu bagaimana membalas apa yang telah engkau dapatkan,”.
Di hadapannya aku ingin membalas dengan lugas. Tapi aku biarkan dia berhenti seperti atas omongannya yang panjang itu.
“Baiklah, apa yang sekarang engkau inginkan dariku manusia tamak?” tanyanya.
“Hamba menginginkan harta yang melimpah paduka. Agar dunia bisa aku beli. Agar aku bisa menikmati banyak perempuan. Aku aku bisa mengandalkan uangku untuk menghasilkan uang agar aku tidak usah bekerja,” kataku.
“Dihadapanmu Yang Mulai, aku tegaskan sekali lagi dan aku berani mengambil semua dosa. Asalkan engkau memberiku banyak harta,”.
Selesai berkata dengan keras, waktu seperti berjalan lambat. Tidak ada angin atau hembusan nafas. Degup jantungku begitu kencang, karena aku berani menantang Sang Penguasa alam semesta memenuhi keinginanku.
“Baiklah, aku turuti permintaanmu kali ini. Tapi aku ingin meminta timbal balik darimu dan apakah engkau bersedia ketika aku sebutkan keinginanku,” tanyanya.
“Iya aku siap!”.
“Aku akan perpendek umurmu saat engkau dilahirkan kembali di dunia bawah nanti. Aku akan ambil kembali nyawa anak-anakmu yang berhasil engkau masukkan di rahim banyak perempuan. Aku akan bikin kamu sakit-sakit. Aku akan bikin kamu sibuk sepanjang hayatmu agar tidak bisa menikmati waktumu dengan orang-orang yang mencintaimu,”.
“Tunggu itu belum cukup. Aku akan berikan kamu kesenangan-kesenangan bersegama dengan banyak wanita karena engkau rupawan dan kaya raya. Tapi dengan catatan, di akhir cerita aku berikan pula sakit mematikan yang tidak bisa disembuhkan,”.
“Nah jawab aku manusia tamak. Apakah tidak cukup berkah panjang umur yang aku berikan hingga menjelang setengah abad usiamu? Apakah tidak cukup hadirnya rejeki di saat engkau tengah membutuhkan dan tidak membuatmu mengemis pada manusia lainnya? Tidak cukupkan engkau aku beri kesempatan meneruskan darah nenek moyangmu lewat anak-anakmu. Tidak cukupkan aku memberimu waktu untuk bekerja dan mampu menjaga keluarga tercintamu?”.
“Tidak cukupkan hai engkau manusia yang aku ciptakan dari tanah dan nafsu belaka?” tanyanya dengan suara yang menakutkan.
Aku terdiam. Aku hanya memandangi tahta itu dengan air mata mengalir. Aku menyadari di balik doa-doa yang selalu aku panjatkan ternyata menyimpan begitu banyak hal-hal yang membahagiakan.
“Engkau sekarang menangis. Menangis setelah aku meminta imbalan atas apa yang aku berikan. Padahal sebelumnya atas apa yang aku berikan aku tidak minta imbalan. Aku hanya ingin engkau bersyukur dan bersyukur saja. Tapi itu masih susah ternyata bagimu manusia yang lebih rendah dari iblis,” tegasnya.
“Sekarang pergilah dari hadapanku, engkau tidak layak berlama-lama satu ruangan denganku. Seharusnya engkau menyadari, sekecil apapun berkah yang aku berikan padamu itu adalah demi kebaikanmu di dunia. Seharusnya engkau bersyukur karena aku tidak memberimu lebih dari kemampuanmu,”.
“Pergilah. Aku muak melihat wajahmu atau mendengar suaramu. Terlahirlah kembali engkau ke dunia sebagai makhluk paling rendah dari makhluk-makhluk yang lain. Jadilah engkau rumput gajah saja, hidup untuk terus dipanen buat makanan ternak,” tutupnya.
Aku terlempar kembali ke arah masukku tadi menuju tungku panas yang menyala dan rasanya akan panas untuk selamanya.
Komentar
Posting Komentar