ASRI-KINGKOK Pada Seruas Jalan
Foto ini terkirim ke rumah emak di Genteng, Banyuwangi pada pertengahan minggu pertama Mei tahun ini bersama pemberitahuan saya tertilang karena tidak menggunakan helm.
Dalam upaya konfirmasi online, tercatat foto diambil pada Jumat (12/4) sekitar pukul 15.00 WIB.
Saya mencoba menebak di mana tepatnya foto diambil lewat kamera perekam lalu lintas milik Polri. Berdasarkan pemahaman dan gambaran masa lalu, kemungkinan besar foto diambil oleh kamera yang terpasang pada lampu merah perempatan timur terminal Genteng.
Karena perempatan itulah titik keramaian lalu lintas di Kota Genteng sebelah barat. Selalu saya sebut kota, meskipun kondisi jalan-jalan di sana masih banyak terdapat kerusakkan sejak saya tinggalkan 24 tahun lalu.
Saya tidak akan menyanggah pelanggaran yang terbukti sudah saya lakukan. Saya juga tidak akan berkomentar panjang lebar kenapa saya tidak menggunakan helm saat berboncengan dengan putri pertama saya, Nenas. Mungkin juga bersama Hayu, yang berada di tengah-tengah kami berdua.
Tetapi jika memang benar foto itu diambil dari kamera lampu merah perempatan timur terminal. Saya hanya bisa memastikan, dari kondisi area sekitarnya, saya melaju dari barat ke timur.
Meski sudah lama pergi, saya masih hafal dengan daerah tempat saya terekam. Bangunan ikonik yang menjadi penanda di kedua ruas jalan saat ini adalah Bank Mandiri dan Pegadaian.
Di masa lalu, hanya Pegadaian ikon di sana. Bangunan besar di utara jalan yang dikelilingi halaman luas berisikan banyak pohon-pohon buah. Itu di periode 1990-2000 an.
Jalan dari terminal sampai lampu merah masih dua arah. Sekarang dipisahkan pulau jalan menjadi satu arah.
Saya hafal betul karena selama tiga tahun saya setiap hari berada di sana. Tepatnya, dulu pas depan Bank Mandiri yang sekarang berdiri megah. Ini dulu merupakan kebun luas yang saya tidak tahu siapa pemiliknya.
Bengkel tersebut tepatnya sebelah barat persis toko Happy. Saya tidak tahu, apakah toko tersebut masih buka.
Setiap hari, sepulang sekolah saya berada di sana. Di bengkel ban milik bapak. Mencari uang saku untuk sekolah esok harinya. Dari siang sampai sore. Lumayan dapat Rp500,- sampai Rp2.000,-. Sedikit karena hanya bertugas bantu-bantu sambil belajar menambal ban.
Bengkel ban ini tidak pernah sepi. Dulu memang berada di pinggiran kota, namun tidak jauh dari pusat kota. Dulu menjadi pangkalan truk pengecer batu gamping yang dibawa dari Puger, Jember.
Selalu ramai. Pecahan kecil ruang ekonomi yang hidup mulai pagi sampai malam hari.
Siang hanya bengkel ban yang buka. Malam hari, di samping bengkel, berdiri tenda warung nasi yang berjualan hingga menjelang pagi hari.
Saat siang, saya berkumpul dengan para juragan-juragan truk pengecer batu gamping dari Puger.
Saya mendapatkan pelajaran catur pertama kalinya. Selalu kalah, tetapi di sela-sela tidak adanya ‘pasien’ baik memompa atau menambal ban. Saya selalu bermain catur meskipun selalu kalah dan tidak bisa berkembang.
Terkadang saya juga diajari beberapa kata kotor. Salah satu yang masih saya ingat ketika saya menanyakan arti tulisan ‘ASRI’ yang tertera pada dinding samping bak salah satu truk. Pemiliknya, yang tidak saya ingat lagi menjelaskan dengan gamblang dan terang.
“ASRI. Akeh Senok Rondo Ilang,” katanya singkat. Saya paham kalimat itu. Masa lalu yang menyakitkan namun tidak membuat saya gentar menghadapi kehidupan.
Tepat di sebelah timur kantor pegadaian, terdapat toko emas yang selalu sepi pembeli. Kemudian toko alat tulis ‘Vita’ yang menjadi pilihan kedua setelah toko ‘81’ yang jauh di timur kota.
Berturut-turut ke timur, toko bangunan yang kalau tidak salah namanya ‘Sari Wangi’ dan kemarin saya lihat masih buka. Kemudian warung makan yang dikelola peranakan dan ketika masih di sana sudah tutup.
Di timur rumah makan, ada toko paling terkenal se-Kota Genteng, dulu dan mungkin sampai sekarang. Dinamakan sesuai panggilan pemiliknya, ‘KingKok’ toko spesialis menjual minuman-minuman beralkohol berlabel Kementerian Kesehatan.
Namun yang masih langgeng adalah warung makan ketan kopi yang buka malam hari di halaman bengkel timur KingKok.
Awalnya hanya ketan kopi saja menu sampai tutup pagi hari. Tapi melihat peluang ekonomi, penjualnya menambahkan menu nasi pecel kuah dengan lauk utamanya ‘Peyek Terbang’.
Filosofinya, ‘Peyek Terbang’ adalah peyek yang sangat tipis sehingga bila dilemparkan akan benar-benar terbang. Bayangkan betapa tipisnya adonan yang digorengkan.
Saya tidak akan mempermasalahkan denda yang dikenakan, karena memang saya salah dan menggunakan motor orang lain. Saya tidak ingin merepotkan.
Malahan saya ingin berterima kasih kepada penemu foto tersebut. Saya tidak pernah difoto di ruas jalan tersebut. Ini merupakan foto pertama saya di jalan yang penuh kenangan akan pembelajaran di jalan raya.
Pembelajaran tentang kehidupan di lingkungan sana tidak berjalan lama, pada akhir 1997 bengkel ban Subandi pindah lebih ke barat karena pembersihan pemerintah.
Sesudah Hotel Ramayana dan sebelum jembatan kali Setail. Di sana bengkel itu bertahan sampai sekarang.
Terima kasih Polri. Saya akan berhati-hati dan pasti mematuhi peraturan lalu lintas. Saya tidak mengira, kota yang saya tinggalkan kini bertambah modern dan pesat kemajuannya.
Saya terlalu meremehkan dan kampiun.
Komentar
Posting Komentar