Kemarin Malam, Ada Masalah Lagi
Mungkin pikiran saya terlalu kolot ketika mendapat tanggung jawab untuk menjadi salah satu pengurus di masyarakat. Saya tertinggal sangat, sangat jauh dengan pemikiran generasi Z yang begitu maju.
Bahkan dalam adab dan etika bergaul di lingkungan, saya kalah telak.
Seingat saya, ketika pertama kali memasuki komunitas dan tinggal di dalamnya. Seingat saya, pertama kali yang harus dilakukan adalah memperkenalkan diri kepada penghuni awal komunitas tersebut.
Kalau di negara kita, proses perkenalan diri yang wajar itu adalah dengan menemui pengurus komunitas dan memberikan salinan data diri kita untuk diketahui serta menjadi catatan mereka. Tidak lupa juga menyampaikan tujuan kita berada di lingkungan komunitas itu.
Terpenting, setelah diterima kita harus mematuhi dan menaati kesepakatan-kesepakatan yang telah mereka jadikan dasar agar komunitas mereka rukun, nyaman, dan aman.
Di Surabaya, Jakarta, Bali, dan terakhir Yogyakarta. Saya selalu menjalani prosedur itu. Baik saat masih kost maupun mengontrak rumah. Bersyukur saya akhirnya bisa bergabung dalam sebuah komunitas baru di kompleks perumahan.
Sebagai komunitas masyarakat yang baru terbentuk, yang terpisah dengan komunitas manapun. Kami, yang berasal dari berbagai latar belakang, bersatu membuat kesepakatan-kesepakatan yang menjadi panduan hidup bermasyarakat.
Namun, dua hari yang lalu, kesepakatan-kesepakatan itu hampir runtuh gegara ‘mahasiswa pintar’ yang mementingkan dirinya sendiri. Dirinya mengaku pernah melaporkan diri untuk bisa tinggal di sana, namun saya tidak pernah menemukan datanya.
Kompleks perumahan kami baru dan berdiri di atas bukit. Menggantikan hutan jambu di atas Goa Selarong. Kesalahan prosedur pembelian, menjadikan kompleks yang seharusnya diperuntukkan untuk masyarakat yang belum memiliki rumah menjadi area investasi mereka yang sudah kaya.
Banyak rumah-rumah subsidi yang kosong tidak ditinggali sampai sekarang sejak dihuni pertama kali 2013. Sempat diklaim sebagai daerah buangan, perumahan kami tumbuh menjadi lingkungan yang layak dan aman ditempati oleh mereka yang membutuhkan kehidupan nyaman berkeluarga.
Namun persoalan akan selalu hadir untuk menguji apakah kita siap atau tidak menghadapi kehidupan? Butuh kedewasaan berpikir dan keberanian bertindak menyelesaikan persoalan tanpa menghadirkan masalahan di pada banyak sisi.
Solusi dihadirkan untuk merangkul semua penghuni komunitas.
Karena banyak yang kosong, akhirnya oleh pemilik yang sudah kaya. Rumah-rumah yang dibeli dengan bantuan subsidi pemerintah ini akhirnya banyak yang dijadikan kontrakan. Beruntung perumahaan kami tidak jauh dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dan mungkin dalam 10 tahun kedepan, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga akan menghadirkan dorongan kuat menaikkan harga kontrakan karena letak kampus tepat selatan perumahan kami.
Kehadiran mahasiswa-mahasiswa pengontrak, memberi keuntungan lebih bagi pemilik rumah. Tapi tidak bagi kami, penghuni tetap.
Saya pernah mendatangi mahasiswa UMY yang mengontrak karena main gitar ramai sekali hingga larut pada Minggu malam. Saya tegur mereka dengan kata-kata, kalian tidak punya empati dan simpati. Di malam orang yang seharusnya istirahat untuk bersiap kerja besoknya, tapi kalian ganggu dengan kebisingan suara yang tak berguna. Mereka bubar dan tidak mengulangi lagi.
Kemarin malam, ada masalah lagi. Mahasiswa kedokteran UMY yang sudah lebih dari tiga tahun tinggal di salah satu rumah mengajukan permohonan perpindahan identitas sesuai alamat yang ditinggalinya.
Kami para pengurus sempat marah, karena yang bersangkutan meremehkan dengan langsung mengurus ke Desa dan Pedukuhan. Padahal kesepakatan dengan Pemerintah Desa, di RT kami seluruh surat administrasi harus mendapatkan pengantar dari paguyuban sebelum disetujui yang lebih atas.
Jangan bilang wajar, karena dia adalah mahasiswa. Saya bilang itu adalah kebodohannya. Selama tinggal di perumahan kami, yang bersangkutan tidak pernah kumpul srawung dalam kegiatan social apapun. Bahkan tetangga di kanan kiri rumah yang ditinggalkan tidak kenal siapa dirinya, karena tidak pernah kumpul.
Alasan klasik ‘saya sibuk’ dijadikan alasan untuk menjawab pertanyaan tidak pernah srawung. Kami tidak menolak permohonan dia, namun kami memberi kesempatan untuk memenuhi persyaratan yang harus dipenuhi saat pertemuan warga bulan depan.
Kalau bisa memenuhi persyaratan permohonan kami kabulkan, kalau tidak bisa yang sudah pergi saja.
Menariknya, kelakuan mahasiswa ini sama menjengkelkannya dengan pemilik rumah yang ditempatinya. Dia mengatakan dirinya mendapatkan ijin menempati rumah itu dari dosennya di Fakultas Kedokteran UMY karena dia merupakan salah satu penerima beasiswa.
Lah-lah, kami malah lebih sewot lagi mendengar pernyataan itu. Kok bisa-bisanya lingkungan kami dirusak dengan menjadikan rumah sebagai sebuah asrama penerima beasiswa tanpa meminta izin dulu atau paling tidak kulonuwun.
Pasalnya jika menjadi rumah bagi penerima beasiswa, maka bisa sangat mungkin penghuninya akan cepat berganti. Jika kelakukan mereka semua sama seperti mahasiswa tadi, maka sangat tidak nyamannya lingkungan kami. Akan banyak orang asing yang tidak kami kenal dan seenaknya beraktivitas di lingkungan kami.
Saya berpikir negatif saja. Mungkin mahasiswa dan dosen yang saya maksud tengah sibuk mengurusi dunia seperti yang divisi misikan oleh UMY “Muda Mendunia’. Karena sibuk mengurusi dunia, mereka seperti tidak memikirkan ada hal-hal kecil di lingkungan tempat mereka tinggal yang harus pula diperhatikan.
Malam kemarin saya juga mendapatkan laporan ada pemilik rumah, yang dalam data dilaporkan belum menikah diketahui memasukkan perempuan menjelang tengah malam. Beberapa orang yang akan mendatangi ‘dengan tegas’ saya cegah karena yang bersangkutan adalah adik dari teman wartawan yang saya kenal.
Dari konfirmasi yang saya lakukan, yang bersangkutan ternyata sudah menikah satu bulan lalu. Saya sih bahagia saja ada yang sudah berani berkeluarga, tapi yo mbok dilaporkan ke pengurus. Biar kita bisa sampaikan ke warga dan tidak muncul dugaan-dugaan kecil yang menjelekkan namanya.
Definisi srawung di anggota komunitas kami memang berbeda takarannya. Berbeda-beda namun kalau ada maunya minta diprioritaskan yang utama. Padahal belum tentu mereka memenuhi nilai-nilai yang sudah disepakati masyarakat.
Pentingnya srawung di lingkungan kami sebenarnya sederhana saja. Agar dikenal dan diakui tetangganya. Jadi jangan sampai tetangganya atau pengurus itu dianggap hantu di sekitar dia tinggal. Hanya butuh kalau ada perlu, tapi tidak dianggap di hari-hari biasa meskipun terlihat jelas di depan mata.
Saya menekankan dalam hati, bergaul di masyarakat itu harus berdasarkan dua hal mendasar yaitu sikap bodoh dan tidak peduli.
Kalau bersikap bodoh, maka kehadiran orang-orang di lingkungan tempat tinggal kita sangat penting karena kita membutuhkan mereka untuk belajar dan saling menjaga diri. Memang apa yang kita dapatkan tidak bisa dinilai dengan angka-angka. Tapi percayalah ada hal-hal yang lebih besar yang akan kita dapatkan.
Berbeda kalau tidak peduli. Sikap ini didasari mereka tidak membutuhkan orang lain dalam kehidupan mereka. Biasanya mereka ini adalah orang-orang yang merasa sok pintar dan sok berkuasa. Sehingga merasa dunia ini bisa mereka kuasai dan menjadi apa yang mereka kehendaki.
Mereka salah! Selama saya masih tinggal di lingkungan ini, saya yang akan melawan dan menghukum mereka.
Komentar
Posting Komentar