Makan
Dalam teori sosial, tiga hal penting yang dibutuhkan manusia ; Pangan, Papan dan Sandang. Soal pangan, ini merupakan kebutuhan manusia yang paling mendasar. Sama seperti berkomunikasi dan bergerak.
Bercerita
tentang makan. Saya selalu berpegang teguh pada omongan rekan kuliah saya di
Surabaya, Yoga yang sekarang berdomisili di Malang. Dia berkata,:
‘Bagi
orang yang berpendapatan rendah, soal makan mereka akan bekata. Apa yang kita
makan hari ini?’
‘Bagi
mereka yang memiliki pendapatan agak lebih atau kelas menengah. Soal makan akan
selalu berkata makan apa kita hari ini?’
‘Dan
bagi mereka yang berkelebihan atau kaya, persoalan makan tidak akan pernah
lepas dari pertanyaan makan di mana kita hari ini?’.
Sampai
sekarang saya selalu berprinsip pada pernyataan pertama. Lapar adalah lauk
terlezat bagi apapun makanan yang akan kita makan. Dengan rasa lapar, saya bersyukur
akan kenikmatan yang Tuhan berikan hari itu.
Rasa
lapar menjadikamu sosok yang tidak pernah menyerah dan selalu bekerja mendapatkan
apa yang engkau inginkan. Rasa lapar mendidikmu selalu ingat masih ada sesamamu
yang dalam kondisi tidak lebih baik dari dirimu.
Rasa
lapar akan membuatmu tidak pernah menyia-yiakan makanan yang ada di depanmu dan
mengambil sesuai porsi yang bisa kamu habiskan.
Jika
memang ada rejeki, bolehlah kami menerapkan prinsip makan di mana. Karena itu
akan mendatangkan kebahagiaan meskipun hanya sesaat. Bagi saya itulah arti
menjalani kehidupan.
Makan
juga memberikan pelajaran penting dalam kehidupan saya dari emak. Rengekan saya
soal tidak adanya makanan di rumah di hadapan banyak orang dijawab dengan
pukulan. Baginya ada tidak adanya makan di rumah itu adalah urusan pribadi,
tidak usah dipamerkan ke orang lain.
Emak
mengajarkan, jika tidak ada makanan maka bekerjalah dengan menahan lapar. Jika
ada makanan di rumahmu, jangan pernah dipamerkan ke orang-orang. Karena belum
tentu di meja mereka ada makanan yang sama.
Jauh
dari rumah membuat saya menderita maag. Demi uang membayar kuliah, saya membuat
sarapan dan makan siang menjadi satu waktu. Makan siang dan makan malam, saya
lakukan menjelang tidur.
Sebuah
upaya yang tidak sehat. Sekarang, ketika saya bisa melakukan ‘makan dimana’,
saya memilih menderita sakit kepala dulu dan mengalami asam lambung agar bisa
memakan apa saja makanan yang pertama kali saya temukan.
Jangan
kasihani saya.
Di
beberapa akhir ini saya juga menyesali sikap sombong ketika menolak tawaran makan
saat berkunjung ke rumah saudara, teman, atau dari orang yang baru saya kenal.
Saya
sering kali beralasan ‘kenyang’ dan saya tidak sadar hal itu memberikan rasa
sakit kepada mereka yang menawarkan.
Lumrah
di adat ketimuran, menawarkan makanan kepada tamu siapapun itu. Menawarkan
makan adalah kewajiban bagi tuan rumah. Kewajiban pula bagi tamu untuk memakan
apa yang disajikan. Meskipun itu hanya sedikit sebagai wujud penghormatan dan
penghargaan.
Sekarang saya menyesali, kenapa dulu menolak
tawaran makan di rumah mereka. Padahal belum tentu satu tahun sekali, bahkan
bertahun-tahun berlalu, saya bisa makan di rumah mereka lagi. Itu jika mereka
masih diberi umur panjang.
Betapa
bodohnya saya, ketika melewatkan banyak pembicaraan dengan mereka di sela-sela
makan bersama. Seharusnya banyak cerita yang bisa saya jadikan bahan cerita di
masa depan.
Saya
naïf dan tidak memberi mereka kesempatan untuk menghidangkan apa yang sudah
mereka lakukan atau kerjakan sebelum kedatangan saya. Tingkah laku saya sama sekali tidak menghargai
mereka.
Seperti
berita, jika memang ada kesempatan maka burulah. Karena belum tentu kesempatan
itu datang sekali lagi dalam sisa umurmu.
Komentar
Posting Komentar