Kota Pendidikan, Sampah dan Kota Setengah Gila
Selain Malioboro, Klitih, Parangtritis apa yang anda ingat tentang Yogyakarta?
Bagi pelancong
diksi ‘Istimewa’, ‘Penuh Kenangan’ dan ‘Setiap Sudut Romantis’ adalah pilihan
konvensional. Terutama bagi yang baru pertama kali ke Yogyakarta.
Bagi mahasiswa
baru, diksinya berbeda. ‘Murah’, ‘Banyak Cafe’ dan ‘Masih Suasana Desa’
tentunya menjadi kata-kata sihir yang diturunkan dari senior dan yunior.
Bagi warga yang
sudah lama tinggal di Yogyakarta, pilihan katanya bertolak belakang. Yaitu
‘Sampah’ dan ‘Danais’. Dua kata yang berbeda, namun ketika disebut secara
terbuka banyak cerita di baliknya.
Saya tak akan
bicara tentang Danais, karena itu sudah banyak dibahas oleh orang-orang pintar
di Yogyakarta dan tertulis pada sisi belakang kaos tukang becak motor.
‘Kemanakah Danais?’.
Saya bicara tentang sampah. Perilaku manusianya dan tentang tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) Piyungan yang amburadul.
Kedatangan dan
Presiden Jokowi merayakan lebaran tak menarik untuk saya liput. Selain tak ada
omongan langsung ke media, kedatangan Presiden Jokowi hanya menyusahkan saja.
Bikin macet.
Dan terbukti,
selama tiga hari di Yogyakarta. Tidak ada berita tentang Presiden Jokowi yang
istimewa. Datang, bagi sembako ke warga miskin, shalat ied di halaman istana
Yogyakarta, ketemu Sultan ketemu Prabowo, handphonenya jatuh. Sudah itu saja.
Namun menjelang
sepekan pasca lebaran, ada informasi menarik. Warga sekitar TPST Piyungan akan
menutup akses masuk. Ini bentuk akumulasi kekecewaan atas kesembronoan
pemerintah daerah dalam penanganan sampah.
Jika
sebelum-sebelumnya aksi protes kerap dilakukan oleh warga Dusun Ngablak, Desa
Sitimulyo, Kecamatan Piyungan yang notabene merupakan wilayah terdampak
langsung keberadaan 1.200 ton sampah per hari yang masuk. Aksi pada Sabtu
(7/5/2022) pagi ini menarik. Digelar warga Dusun Banyakan yang masih satu desa
namun berjarak lebih dari empat kilometer dari area TPST Piyungan.
Ini menarik.
Tapi saya tidak ingin lagi fokus pada aksi demo penutupan akses masuk. Sudah
sering dan tidak mendapatkan respon yang kuat dari pembaca. Saya ingin mencari
yang berbeda. Berbeda dan kuat menarik pembaca.
Coba baca
link-link di bawah ini :
https://www.gatra.com/news-434310-lifestyle-pemda-diy-sulit-penuhi-tuntutan-dana-kompensasi-tps-piyungan.html
https://www.gatra.com/news-490020-kesehatan-badan-kpbu-ditargetkan-kelola-tps-yogyakarta-mulai-2022.html
https://www.gatra.com/news-512089-hukum-tps-diy-overload-perluasannya-ditolak-warga-lokal.html
https://www.gatra.com/news-527372-kebencanaan-sampah-yogyakarta-bakal-dikelola-swasta-dprd-tak-rela-pemda-bayar-mahal.html
Semua bicara
tentang aksi protes warga dan rencana-rencana pemerintah dalam penanganan
sampahnya. Namun tidak pernah ada realisasi yang dijalankan.
Aksi tetap saya liput. Namun saya ingin mendapatkan cerita langsung dari warga Dusun Banyakan yang merasakan dampak keberadaan sampah. Pertanda awal akan keberhasilan melakukan liputan yang beda ini saya dapatkan ketika dalam perjalanan ke lokasi protes.
Usai meliput
aksi, saya dikenalkan dengan mas Fauzan yang berkenan mengajak saya berkeliling
dusunnya.
Mulai dari
menyusuri sungai pinggir desa yang airnya berubah menjadi hitam karena
terus-menerus kemasukkan lindi. Sampai tumpukan sampah yang berjumul di pinggir
sungai karena terbawa banjir hujan musim hujan.
“Warga diteror
dengan bau tak sedap selama 28 tahun lebih. Sumber air minum kami rusak dan
tercemar. Beberapa anak kecil, mengidap sesak nafas akut namun tetap bertahan
karena dari kalangan ekonomi kelas bawah,” kata Ketua RT 04 Sogiman bercerita
kepada saya.
Bagi Sogiman
yang puluhan tahun menjadi RT, sakitnya sebagai warga asli Banyakan, Sitimulyo,
Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah tidak adanya perhatian dari
pemerintah ke warga yang terdampak langsung.
Perencanaan dan
pembangunan TPST Piyungan ujug-ujug dibangun tanpa pernah meminta masukkan
warga dan tahu-tahu sudah menjadi kebijakan yang tidak bisa dilawan dengan cara
apapun. Sebab sudah ditandatangani Gubernur.
“Tidak pernah
ada kompensasi bagi kami. Warga dianggap tidak ada dan dianggap mati. Kami
tidak pernah di-wong-kan (dimanusiakan) Gubernur. Tuntutan kami hanya satu,
tutup permanen tanpa ada tawar menawar lagi,” tegasnya.
https://www.gatra.com/news-542649-regional-tutup-permanen-tpst-piyungan-warga-kami-tidak-di-wong-kan-gubernur-diy.html
Bagi banyak
kota, sampah adalah aib umum yang nampak karena ketidakbecusan pengelola
kotanya dan ketidakpedulian warganya. Pembiaran yang terjadi menyebabkan
kekotoran yang akut akan sampah di berbagai sudut kota. Ketidakpedulian
warganya menjadikan menampakkan kegoblokan hakiki manusia meskipun dia
berpendidikan tinggi.
Inilah paradoks
Yogyakarta tentang sampah. Banyak orang pintar, banyak dana yang melimpah,
banyak orang yang sebenarnya peduli tapi tidak dianggap dalam menyelesaikan
masalah persampahan.
Warganya juga
sama. Meski dikenal mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan
daerah lainnya. Namun soal urusan sampah mereka sama saja. Sembrono, tidak
peduli dan pelit. Akhirnya jalan-jalan penuh kantong-kantong plastik penuh
sampah.
Diminta
membayar iuran sampah Rp20 ribu per bulan untuk dua kali pengambilan dalam seminggu
banyak ngedumel. Banyak alasan dan memilih tak punya muka dengan menumpang
membuang di bak tetangganya.
Tak heran pula
saya ketika Kepala Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo Marsudi ditanya Bupati Abdul
Halim Muslih terkait dengan penggunaan dana program pemberdayaan masyarakat
desa (P2MD) sebesar Rp50 juta per tahun per dusun untuk penanganan sampah.
Sekelas Kepala
Desa di Yogyakarta hanya bisa menjawab, “Di desa kami masih banyak tanah-tanah
kosong yang bisa digunakan untuk memendam sampah. Jadi kami menganggap masalah
sampah bukan prioritas,”.
Jawaban ini
mirip yang digunakan saat Gendut Sudarto dulu menjabat sebagai Sekda Bantul
kepada saya.
Saya bukannya
apatis pada ‘Program Bantul Bebas Sampah 2025’ juga bukannya tidak yakin proyek
penanganan sampah di TPST Piyungan akan diselesaikan anak buah Gubernur. Namun
jika melihat pola pikir warga dan pimpinan di tingkat bawah. Saya tidak yakin
masalah sampah di Yogyakarta akan cepat selesai.
Dalam prediksi
saya, masalah persampahan di Yogyakarta bakal terus melebar dan menimbulkan
konflik sosial warganya. Terdekat konflik yang saya lihat akan segera muncul
adalah kemunculan tempat pembuangan sampah (TPS) ilegal yang mulai muncul di
banyak lokasi dan tidak ditangani.
“Jangankan
sampah. Soal kemacetan, tata ruang, dan penggunaan Danais yang tidak jelas
membuat warga Yogyakarta sudah setengah gila,” pesan aktivis lingkungan via WA.
Komentar
Posting Komentar