Bergerak dan Berkeringatlah, Maka Engkau Ada
Jika
malas, tubuhmu penuh sampah makanan.
Jika
banyak sampah, tubuhmu tumbuh gendut.
Jika
gendut, engkau mudah sakit.
Jika
sakit, engkau tidak bisa berpikir.
Jika
tidak berpikir, engkau tak produktif.
Jika
tak produktif, engkau jatuh miskin.
Mantra
ini saya ucap berulang kali ketika memulai jogging. Meski tidak rutin, saya
selalu menjadwalkan jogging di akhir pekan. Tidak masalah berapa lama waktunya.
Asalkan bergerak dan mengeluarkan keringat. Sudah melegakan.
Di
usia saya, kesempatan kedua dalam sepanjang usia manusia. Kiranya hanya ada dua
investasi yang bisa dilakukan.
Menabung
uang untuk masa depan keluarga dan pendidikan. Rutin berolahraga agar tidak
mudah sakit. Sakit itu mahal.
Saya
memilih jogging karena murah. Hanya dibutuhkan sepatu dan niat melangkah.
Sebuah langkah kecil untuk perjalanan panjang dan penting. Awalnya memang
jalan, seiring waktu tubuh kita akan memaksa untuk berlari kecil.
Tidak
perlu biaya besar beli peralatan. Jika tidak ada sepatu lari. Tanpa alas kaki
pun jadi. Berjalan pagi hari menyenangkan. Apalagi lingkungan di lingkungan
yang masih banyak rerimbunan pohon.
Ritmenya;
pendek-pendek, pendek-panjang, panjang-pendek-panjang. Pulang tidak usah mampir
ngeteh atau ngobrol di warung. Membuang energi dan waktu. Masih banyak
pekerjaan penting lain yang perlu dikerjakan.
Dari
muda saya takut gendut. Sejak muda, berbahagialah saya dan seumuran saya bisa
menikmati indahnya sekolah berjalan kaki dari SD sampai sekolah menengah.
Berangkat dan pulang sekolah, rata-rata 6.000 langkah.
Mendekati
jumlah langkah ideal yang disarankan para pakar kesehatan agar tetap bugar dan
sehat, minimal 7.000 langkah setiap hari.
SMP
dan SMA, jarak sekolah dan rumah tujuh kilometer jauhnya. Ditempuh dengan
angkutan umum dan turun di jalan utama. Jalan kaki selanjutnya. Telat sedikit
naik angkutan, siap-siap terlambat sampai sekolah.
Tidak
bisa mengandalkan bapak untuk mengantar. Beliaunya tidak peduli bagaimana saya
berangkat. Baginya yang penting sekolah, tidak ada alasan tidak bersekolah.
Saya dituntut mandiri dan bertanggung jawab mengatur waktu.
Pulang
sekolah tidak ada pikiran untuk bermain. Menjaga bengkel tambal ban adalah
kewajiban agar bisa memiliki uang saku esok harinya. Tidak peduli dapatnya
berapa, potong 50-70 persen buat uang kas. Sisanya buat uang saku.
Dituntut
pintar dalam memberikan pelayanan agar pelanggan bertambah banyak dan uang yang
didapat mengalir deras. Koran adalah bahan bacaan satu-satunya. Radio adalah hiburan dengan musik Indonesia bernuansa cinta era 90-an.
Liburan
panjang. Seharian bisa di bengkel ban. Dapat uang banyak, bisa membelikan minum
dan rokok pada kawan yang sekedar mampir untuk bermain dan membaca koran. Tak
masalah. Bapak malah senang.
Motor.
Hahahaha....saya baru bisa membelinya dengan utangan setelah lulus kuliah. Jadi
bekerja dan berkuliah selalu diisi dengan gerak badan. Yang jalan ya naik
sepeda. Dari Nginden bersepeda ke jalan Demak, untuk mendapatkan buku bekas.
Sepuluh
tahun lalu, saya meremehkan bergerak. Akhirnya mudah capek dan tidak
bersemangat. Otak macet karena tidak mendapatkan aliran darah segar. Yang ada
hanya keluhan, sambatan, keluhan, sambatan. Raut muka tidak terlihat
menyenangkan untuk disapa.
Terlalu banyak pikiran namun tidak didukung gerak. Kehidupan seperti kehilangan makna dan dukungan dunia.
Sekarang,
sama saja. Meski tidak memiliki banyak uang. Namun otak terus berpikir keras
karena kerjanya didukung darah segar. Otot-otot bisa bergerak leluasa tanpa
kenal lelah. Sudut pandang banyak arahnya, sehingga bisa melihat banyak peluang
dan kemungkinan yang menantang demi penghasilan.
Seandainya
saja, anak muda jaman sekarang mengalami masa-masa jaman muda saya. Pasti tidak
banyak orang tua yang mengeluh anaknya hanya rebahan saja. Bekerja hanya ketika ada
tugas sekolah atau diperintah suara keras disertai ancaman.
Teknologi
memanjakan mereka. Segala sesuatu dengan mudah didapatkan. Hanya dengan meminta
dan pasang wajah cemberut keinginan dipenuhi orang tua. Tak
peduli bagaimana rasanya susah mencari uang.
Di skala rumah saja seperti itu, apalagi selevel negara. Pantesan orang-orang itu bingung bagaimana mengerakkan anak mudanya agar tetap sehat. Agar tidak mudah gendut.
Gendut terlihat sehat memang, tapi penuh ancaman kemiskinan dan kematian.
Menpora
Zainuddin Amali berkeluh kesah pada media. ‘Penelitian di Jawa Tengah, dari dua
ribu pelajar sekolah menengah. Hanya lima orang yang bugar. Kiranya beginilah
kondisi pemuda Indonesia. Mereka terancam menjadi penonton saat bonus demografi
datang,” ucapnya.
Bangunlah
badannya. Bangunlah jiwanya. Bangunlah otaknya. Bangunlah kejayaannya.
Komentar
Posting Komentar