Bendera di Halaman Rumah Saya
Dinding FB saya penuh
dengan komentar pedas perihal menyamakan warga yang tidak memasang bendera
Merah Putih di bukan kemerdekaan negeri ini, Agustus, dengan PKI. Padahal saya
tahu bahwa PKI, sebelum dibubarkan adalah kumpulan orang-orang nasionalis tulen
yang peduli pada negeri ini.
Orang-orang PKI dikenal
sebagai individu yang terus berdiri di kaki sendiri tanpa tergantung orang
lain. Mereka bekerja, berbuat dan berbhakti demi kemajuan masyarakat.
Mereka mengakui agama,
mereka mengakui negara, mereka mengakui bendera, dan lebih penting mereka
mengakui kemanusian. Karena politik dunia, sosialisme-komunisme dilarang di
negeri ini.
Saya menyamakan orang
yang tidak memasang atau menempatkan bendera pada tempat selayaknya dengan
konotasi PKI karena memang selama ini masyarakat kita memandang orang-orang
antinasionalis dengan sebutan PKI. Bahkan yang tidak mengakui agama pun disebut
sama.
Dulu, semasa kakek masih
hidup, (medio 1987-1994). Untuk menghidupkan perayaan kemerdekaan, setiap awal
Agustus kami memasang bendera besar ukuran 1x1,5 M dengan tiang utuh dari kayu
Jati setinggi 6 meter. Kami tempatkan di depan rumah.
Merah Putih megah
berkibar dan selama 30 hari itu pendidikan tentang nasionalisme diajarkan
melalui kibarannya. Sederhana namun mengena.
Rumah saya subsidi. Namun
bukan karena dibantu negara saya memasang bendera. (Semula dudukan bendera saya
taruh di selokan agar tidak jatuh. Tapi hari ini sudah saya pindah ke tempat
terbaik). Tapi bendera saya pasang setiap Agustus untuk menyatakan saya
nasionalis. Saya mengakui dan bangga pada negeri ini apapun yang terjadi. Saya siap
mati demi negeri ini.
Saya sadar, di dunia
modern ini. Seseorang tanpa agama, dimanapun tetap mendapatkan pengakuan. Tapi orang
tanpa kewarganegaraan, dia bukan apa-apa dan siapa-siapa.
Jadi sore kemarin, saya
mendapatkan kiriman dari seorang kawan yang kebetulan mengirimkan barang ke
kompleks perumahaan mewah. Baginya pemasangan bendera pada tiang nama jalan adalah
paradoks Indonesia.
Bagi teman saya, mereka
mampu membeli rumah ratusan juta. Namun untuk bendera dan tiang seharga tidak
sampai Rp100 ribu mereka tidak bersedia. Kondisi yang sama juga sama di
perumahaan saya.
Warga sempat diminta
memasang, namun karena bukan kewajiban kita tidak bisa memaksa. Saya hanya
prihatin saja. Prihatin dan mengelus dada. Memang tiang saya dari pipa besi
bekas yang saya cat tembok, namun bendera itu wajib berkibar sebagai
penghormatan kepada negara.
Minimnya semangat
menyemarakkan bulan kemerdekaan ini, dalam ansumsi saya karena system pendidikan
kita yang tidak pernah peduli pada nasionalisme. Nasionalisme hanya diajarkan
tiap hari Senin dengan inti menghormat pada bendera.
Tidak hanya di dua decade
ini, pendidikan nasionalime masih rendah. Selama periode Orde Baru,
nasionalisme hanya diajarakan melalui hafalan 36 butir-butir Pancasila. Tidak pernah diminta mengamalkan nilai-nilai
lima sila yang utama.
Nasionalisme dalam dunia
pendidikan kita dianggap ketinggalan belakang. Lebih baik meniti beratkan
pendidikan pada agama yang akan membahagiakan manusia sesudah kematian.
Komentar
Posting Komentar