Tentang Rasa Takut Dan Kegilaan




Tiga hari  lalu, di status FB, saya menuliskan bahwa kegilaan yang saya lakukan adalah proses atau tindakan menyelamatkan kehidupan. Kegilaan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses adaptasi dan bertahan hidup dalam persaingan.  

Saya tidak malu menyatakan kegilaan saya, karena itu apa adanya. Saya melakukannya untuk melawan rasa takut. Ketakutan yang sama anda dan saya rasakan. Entah ketakutan akan apa saja. 

Saya paham akan ada resiko besar atas pernyataan saya. 

Tak ada nasib yang lebih sial bagi seorang selain dinyatakan gila. Seorang yang dinyatakan gila akan dikucilkan masyarakat, dianggap berbahaya. Jika ia punya anak, maka tak ada orang yang mau menikah dengan anaknya, karena bapaknya gila. Mencari nafkah pun menjadi sulit karena pasti akan ditolak di mana-mana.

Dalam dunia kegilaan saya, dunia ini penuh dengan tawa. Tertawa adalah bagian dari cara orang melihat kebenaran, melihat dunia. Tertawa adalah cara orang melihat kebenaran supaya tidak menjadi dogma. Tertawa juga menjungkirbalikkan apa yang sudah ada. 

Bagi saya, sebagai manusia yang merupakan binatang rasional dimana manusia dilengkapi dengan kapasitas untuk tertawa. Menertawakan jalannya kehidupan yang selalu saja bertentangan adalah cara termudah untuk mensyukurinya. 

Di luar itu semua, jalan kehidupan seperti sebuah perangkat yang selalu saja bertentangan. Seperti di tengah cuaca panas, kita selalu merasa kehausan dan ingin berbasah-basah. 

Kalau sedang hujan, kita menginginkan kehangatan dan tubuh yang kering. Kalau sedang ada makanan melimpah, kita memaksa diri makan sampai kekenyangan. Kalau sedang tidak ada makanan, benar- benar tidak ada apa-apa, dan kita kelaparan. 

Situasi ini serba bertentangan. Mau tidak mau ini tetap harus kita syukura saja dan lakukan sambil tertawa. Tertawa dalam dunia kegilaan yang kita ciptakan.

Kembali bicara ketakutan. Saya menyakini ketakutan menjadikan kehidupan kita kehilangan arah. Kita tidak lagi punya pilihan. Semua indera dimatikan dan tersesat menjadi dalah pilihan menjanjikan. Ketakutan menjadikan kita kehilangan rasa, kehilangan identitas. Tidak lagi bisa memilih, harus menanggalkan semua jati diri.

Pi Pathel, lakon dalam ‘Life Of Pi’, berkata, “Rasa takut adalah satu-satunya lawan sejati kehidupan. Hanya rasa takut yang dapat mengalahkan kehidupan,”.

Ketakutan adalah musuh yang pintar dan licik. Rasa takut sama sekali tak kenal malu, tak peduli hukum atau aturan apa dan tak kenal ampun. Dengan mudah dia bisa menemukan kelemahan kita yang utama, dan menyerangnya. Dan yang mula-mula diserang selalu pikiran kita. 

Saat kita sedang merasa tenang, yakin, bahagia, rasa takut itu menyelinap bagai mata-mata ke dalam pikiran kita, menyamar dalamselubung keraguan tipis. Pikiran kita berusaha menolak keraguan ini dengan memunculkan rasa tak percaya.

Tapi dengan mudah keraguan akhirnya menang juga. Kita menjadi cemas. Tapi masih ada akal sehat untuk menolong kita. Kitapun kembali tenang, sebab akal sehat ini dilengkapi dengan teknologi senjata-senjata paling mutakhir. 

Tapi sungguh mengherankan, meski telah menggunakan taktik-taktik yang lebih hebat dan berhasil memperoleh sejumlah kemenangan mutlak, toh akal sehat akhirnya kalah juga. Kita menjadi lemah, bimbang. Kecemasan pun berubah menjadi rasa takut.

Berikutnya, rasa takut ini menyerang raga kita sepenuhnya. Raga yang sudah sedari tadi menyadari ada sesuatu yang sangat tidak beres. Paru-paru kita sudah terbang sepertiburung, dan isi perut kita serasa sudah merayap pergi seperti ular. 

Sekarang lidah kita mati kejang seperti opossum, sementara rahang kita mulai gemetaran. Telinga menjadi tuli. Otot-otot kita gemetar seperti orang kena malaria, dan kedua lutut kita saling berantuk seperti sedang berdansa. Jantung berdentam-dentam keras, sementara lubang anus kita terlalu kendur. 

Begitu pula halnya bagian-bagian tubuh yang lain. Keseluruhan tubuh kita luluh lantak dengan caranya masing-masing.

Hanya mata kita yang masih berfungsi dengan baik. Mata selalu menaruh perhatian semestinya pada rasa takut.fungsi dengan baik. Mata selalu menaruh perhatian semestinya pada rasa takut. 

Dengan cepat kita pun membuat keputusan tergesa-gesa Kita sudah lupa pada faktor-faktor yang mestinya menjadi andalan terakhir, yakni harapan dan keyakinan. Nah, kitapun kalah. Rasa takut, yang sebenarnya hanya perasaan, berhasil menundukkan kita.

Hal ini sulit sekali dijelaskan dengan kata-kata. Sebab rasa takut itu rasa takut yang sesungguhnya, yang mengguncang kita sampai ke ulu hati, yang kita rasakan saat dihadapkan pada akhir hidup kita-akan bersarang dalam ingatan, seperti gangren. 

Dia membuat lain-lainnya menjadi busuk, termasuk kata-kata yang ingin kita gunakan untuk menggambarkannya. Jadi, kita mesti bersusah payah kalau hendak mengekspresikan rasa takut itu. 

Kita mesti berjuang keras menyuarakan kata-kata itu. Sebab jika tidak, jika rasa takut itu menjadi kegelapan tanpa kata yang berusaha kita hindari, atau bahkan berhasil kita lupakan, berarti kita membuka diri terhadap lebih banyak serangan rasa takut, sebab kita tak pernah benar-benar melawan musuh yang telah mengalahkan kita itu.

Selain kegilaan, satu jurus saya melawan ketakutan adalah dengan ilmu pengetahuan.

Rasa ingin tahu dan hasrat untuk terus belajar juga bertujuan memperpanjang hidup. Pengetahuan tidak hanya terdiri atas mengetahui apa yang harus dan dapat kita lakukan. Tetapi juga tahu apa yang dapat kita lakukan dan mungkin tidak kita lakukan.

Saya mencari dan mendapatkan pengetahuan lebih banyak melalui buku dan kitab. Karena lewat bukulah, meskipun dalam masa terbenamnya matahari. Buku masih menjadi lentera dan cahaya, tinggi diatas cakrawala. Melalui bukulah manusia diajarkan bagaimana memerangi kesombongan, kedengkian, dan kebodohan.

Meskipun buku adalah mahluk rentan yang bisa rusak oleh waktu, hewan pengerat, cuaca, dan tangan-tangan usil. Tapi manusia wajib melindunginya. Buku menjadikan saya berpikir lebih objektif. Lewat bukulah saya tidak mudah dihasut.

Karena itulah, saya menyediakan satu kamar khusus untuk buku-buku apa saja yang bisa saya dapatkan. Saya berkeyakinan sebuah sebuah rumah tanpa buku ibaratnya  seperti masyarakat tanpa kekayaan, benteng tanpa tentara, dapur tanpa perabot, meja tanpa makanan, kebun tanpa rumput tumbuh, padang tanpa bunga, pohon tanpa daun.

Saya belajar dengan 'melihat' buku itu, menggunakannya saat mempertanyakan berbagai hal. 

Lebih jelasnya, pengetahuan bukan seperti koin, yang secara fisik tetap utuh bahkan setelah melalui transaksi paling keji. Lebih tepatnya, ilmu pengetahuan seperti sepotong gaun yang indah, yang menjadi lapuk setelah dipakai berkali-kali dan dipamerkan. 

Buku juga sama. Jika banyak disentuh, halamannya menjadi kumal, tinta dan warna emasnya menjadi buram.

Saya membaca untuk tetap berakal sehat dalam kegilaan. Ini paradoks.  Akal sehat saya gunakan setiap kesempatan. Akal sehat bermanfaat mencari makanan, pakaian, dan tempat berteduh. Akal sehat adalah perangkat terbaik kita. Tidak ada yang bisa mengalahkan akal sehat dalam menghindarkan diri dari bahaya. 

Namun saya juga percaya ada beberapa hal yang penuh keajaiban terjadi dalam kehidupan kita. Akal sehat dan kegilaan saya bisa menolerir itu. Kepercayaan tidak bisa dibuktikan dengan akal sehat, namun bisa dibuktikan.

Cinta sulit dipercaya, tanyakan pada siapa pun yang sedang jatuh cinta. Kehidupan ini juga sulit dipercaya, tanyakan pada ilmuwan mana pun. Tuhan juga sulit dipercaya, tanyakan pada siapa pun yang mempercayainya. 

Saya menerima sesuatu yang sulit dipercaya karena kalau menggunakan akal sehat secara berlebihan, bisa-bisa keajaiban Alam Semesta ini ikut terbuang sia-sia. Percayalah anda, ini sulit dipercaya. 

Terpenting, saya selalu bersyukur dan memuji Tuhan karena Dia telah melepaskan saya dari keragu-raguan dan membebaskan dari perasaan gelisah yang memenuhi hati saat menjalani hari-hari. 

Sebagai mahluk lemah, saya paham ada banyak hal-hal jahat  mencari-cari kesempatan menyebarkan rasa iri kecil-kecil, menimbulkan pertikaian licik. Bahkan saat dikelilingi orang-orang suci dan jauh lebih beriman. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak