Dari Kelapa Bukan Kelapa, Ke Sepakbola

Saya dan Ali, Bali 2017


Buku ‘Euforia Sepak Bola Bali’ karya dulur Kambali Zutas, saya terima Sabtu (11/4) siang. Buku bersampul hitam ini adalah karya kedua Ali yang hampir dua puluh tahun berkecimpung dalam dunia olah raga Bali.

Melalui 37 karya tulisnya, buku ini seperti menjadi penasbihannya Ali akan capaian tertinggi dalam berbagai proses peliputan keolahragaan di Pulau Dewata. Buku seperti menjadi gambaran perasaan Ali, dan masyarakat Bali pada umumnya, akan penghapus dahaga prestasi dalam sepak bola tenggelam sejak 2006 lalu.

Bergelut sejak 2006, Ali hanya sempat dua tahun saja merasakan bagaimana pendalaman berbagai materi sebuah klub yang berlaga di Liga tertinggi Indonesia. Hingga kehadiran Bali United yang mampu meraih juara pada 2019 kemarin seperti menyihirnya untuk melahirkan berbagai tulisan dengan cerita di balik cerita. 

Saya ingat ketika pertama kali berkecimpung dalam dunia wartawan, Ali sempat menjadi bahan guyonan di ruang redaksi NusaBali. Tempat kita menjadi kawan dan saudara. 

Berjudul ‘Kelapa Bukan Kelapa’, Ali seperti memantapkan dirinya adalah pribadi yang bisa melucu dengan caranya sendiri, menghargai perbedaan, dan selalu menerima kritik sepedas dari siapapun. Namun semua itu tidak melunturkan intergritasnya sebagai individu agamis yang mampu bertahan di tengah cobaan Pulau Dewata.

Proses kreatifitas Ali dalam berbagai tulisannya adalah hasil dari proses kedekatan dirinya dengan berbagai narasumber. Kedekatan ini  menjadi senjata andalannya untuk membuat sebuat berita atau laporan yang berbeda dengan yang lain. 

Saya ingat betapa dekatnya Ali dengan pelatih Persegi FC, Henk Wullems saat mengarungi musim 2006-2007. Sisi lain dari berita harian sepak bola tersaji begitu cair. Jika melihat candaan Ali dengan Henk, saya melihat dia bukan lagi sebagai pencari dan pelapor berita. Namun mereka seperti sudah bersahabat.

‘Euforia Sepak Bola Bali’, bagi saya adalah gambaran nyata bagaimana kehidupan sepak bola Bali. Sebuah klub yang mampu menyatukan berbagai kalangan yang berbeda di Bali. Klub yang mampu menghasilkan kebangaan baru bagi Bali. Dan Ali terlibat penuh di dalamnya.



Simak saja tulisan berjudul ‘Numpang Mumpung Bali Juara’, Ali berhasil mengabungkan berbagai sudut pandang dan materi yang berasal dari unsur di luar sepak bola. Tidak hanya politik, kebudayaan, ekonomi dan sosial budaya dibahas tuntas Ali dengan bahasa yang lugas.

Ia menulis, ‘Di pihak lain, numpang mumpung memanfaatkan momentum juara ini adalah pejabat daerah, politikus, Asprov dan KONI. Pejabat daerah tak kalah numpang mumpung ketika Bali United Juara. Gubernur Bali I Wayan Koster dengan tangan terbuka, bahkan rasa hormat dan bangga mengundang pemain, pelatih, dan offisial Bali United....disambut sebagai ‘tamu istimewa’, tulisnya.

Keberhasilan Bali United menjadi kampium, menurut Ali melahirkan kembali visi misi pembangunan semesta berencana serta menjadi penanda pencapaian Bali di era baru. Sebuah keberhasilan yang Ali sebut, tanpa ada campur tangan para politikus Bali.

Saya mengerti, Ali pernah merasakan betapa harapannya, termasuk seluruh warga Bali, akan Persegi FC dirusak permainan politik. Di jaman itu, klub semi profesional sepenuhnya disusui APBD.
Keberhasilan akan suatu prestasi akan diklaim habis-habisan sebagai kerja kepala daerah, tulisnya.
 
Bahkan dijadikan alat kampanye ketika gubernur dan bupati mencalonkan diri. Induk organisasi olahraga lainnya juga numpang mumpung keberhasilan Bali United minimal spirit dan tata kelola klub mejadi juara.

Namun Bali United menurut Ali berbeda. Bali United menjadi obor inspirasi memajukan olahraga, khususnya sepak bola. Dikelola professional dan tidak bergantung APBD, Bali United membentuk citra baru Bali.

Lain halnya dalam tulisan bertajuk ‘Deklarasi Sanur Lahirkan Semeton Dewata’. Ali terlihat sepenuhnya terlibat dalam pembentukan organisasi supporter Bali United. Dia dengan gamblangnya bercerita dari awal sampai akhir.

Dia dengan mudahnya menulis kehadiran Semeton Dewata telah menyatukan berbagai organisasi pendukung berbagai klub sepak bola di Bali. Ia menyebut, kehadiran Semeton Dewata otomatis tidak ada lagi nama organisasi lainnya. Semeton Dewata adalah Bali.

“Tidak ada lagi supporter Perseden Denpasar, Persekaba Badung atau PS Badung, Persegi Gianyar, PS Bangli, Perst Tabanan, Persika Karangasem, Persada Jembrana, Persibu Buleleng, dan FSK Klungklung. Nama-nama supporter yang sudah ada seperti Serdadu Kota, Laskar Dewata, Buldog, Brigaz Bali melebur menjadi satu ‘Semeton Dewata,” tulisnya.

Berkaca pada tulisan ini, saya seperti menemukan Ali yang dulu. Yang begitu dekat dengan narasumber dan mampu masuk ke berbagai sisi yang tidak pernah dijangkau oleh sesame peliput lainnya. 



Demikian juga melalui tulisan ‘Michael Essien? Ah, Lebih Baik VDV’. Ali mampu menghadirkan sisi sosial budaya kehidupan masyarakat Bali. 

Sebagai tujuan wisata utama Indonesia, masyarakat Bali digambarkan Ali tidak kagum atau terheran-heran dengan orang asing yang memiliki nama besar. Bagi dunia pariwisata Bali, orang asing adalah orang asing. Mereka adalah tamu yang harus dijamu sepuasnya agar berkunjung kembali.

Namun jika ada orang asing yang member kontribusi besar, maka masyarakat Bali akan memberi lebih. Bagi keberhasilan satu orang asing menjadikan Bali lebih baik harus diberi penghormatan yang lebih dari seorang tamu. Dia adalah warga Bali.

‘Di Bali seakan tidak ada pemain bintang kecuali seseorang yang menampilkan luar biasa sepanjang pertandingan. Nama itu tidak akan disematkan kecuali ia bermain perfect dan berperan penting dalam dalam tim. Jika tidak memiliki peran dan tampil maksimal, ia hanya orang biasa saja, tak ada apa-apa, dan dibiarkan begitu saja,”.

Membaca keseluruhan tulisan di buku ini, saya memberi apresiasi yang begitu dalam pada Ali. Ditengah kesibukannya sebagai penanggung jawab halaman dan berbagai kegiatan di organisasi masyarakat, Ali menyempatkan waktu untuk menulis, terus menulis.

Mungkin ada kesamaan kesadaraan antara saya dan dia, bahwa keberhasilan dalam kehidupan adalah kerja keras tanpa lelah. Terlebih lagi di tanah rantau. Ia menulis di halaman 89; ‘Yang hebat itu adalah manusia-manusia perantau. Memilih hidup menjadi perantau karena ingin sukses dari jeri payah sendiri,.

Tapi keseluruhan, bagi saya buku ini buku sekedar membahas tentang persebak bolaan Bali dengan kehadiran dan keberhasilan Bali United. Tapi ini adalah sebuah nasehat halus dari seorang dulur lanang tentang spiritual.

Baginya, dunia sepak bola yang menempati sisi duniawi jika diperhatikan berlebihan akan menjadikan manusia melupakan agama. Sepak bola adalah pengantar keimanan dan kemusyrikan, tulisnya di halaman vii. 

Pesan ini menohok saya.



Ingin rasanya saya kembali ke satu malam, saat masih bersama Ali dan berucap ‘Ampun tiang, ampun tiang, ampun tiang’.

Tur sukma Ali atas kirimannya dan pencerahannya. Kami referensi baru dalam kamus pengetahuan keolaragaan. Teruslah berinovasi dan menjadi inspirasi. ‘Kelapa Bukan Kelapa’, hanya langkah kecil untuk meraih apa yang sekarang ini engkau dapatkan.

Om Santih Santih Santih Om…..

Puncak Bibis, Bantul (14 April 2020)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak