Rumah Subsidi Nan Sepi

Mari membicarakan kondisi lingkungan perumahan saya. Perum Griya Kembang
Putih. Berlokasi di atas bukit Selarong atau tepatnya di atas goa bersejarah
Selarong di Pajangan, Bantul.
Dibangun pada 2012, di masa Presiden SBY. Kawasan ini adalah perumahan yang
disubsidi oleh pemerintah lewat program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan
Perumahan (FLPP).
Dikembangan kontrator PT Rumah Cerdas, pembiayaan dipegang bank BTN secara
khusus memprioritaskan pemberian kredit kepemilikan rumah. Dengan masa
pengangsuran pinjaman 15-20 tahun, subsidi diberikan melalui keringan bunga
pinjaman tetap sebesar 5 persen.
Dihargai Rp88 juta, pembeli mendapatkan rumah bertype bangunan 36 dan luas
tanah maksimal 70 meter persegi. Dengan uang muka hanya 10 persen dari total
harga, pembeli mengangsur Rp700.000 sampai Rp800.000,- tergantung dari lamanya
tenor.
Dulu, dalam pengajuan kredit rumah. Selain uang muka dan biaya pengurusan
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) yang bervariasi dari Rp5-7
juta. Pembeli wajib melampirkan surat keterangan tidak memiliki rumah dari
Desa.
Dari sekian banyak pembeli, kemungkinan besar sayalah satu-satunya pembeli
yang melampirkan surat keterangan itu.
Di 2014, saya menjadi penghuni tetap di komplek perumahan ini bersama
sekitar 30-an pemilik rumah yang lain. Dua tahun masa pembangunan, tidak 100
persen kondisi lingkungan bisa dikatakan layak huni.
Sebagian besar jalan masuk belum diplester maupun di konblok. Bahkan sampai
sekarang, masih ada jalan-jalan di kawasan ini yang masih berupa tanah.
Instalasi pembuangan limbah baru dibangun pada periode 2016-2017 lalu. Area
fasilitas umum dan fasilitas sosial masih mangkrak seperti sedia kala.
Menariknya, dari 135-an rumah yang dijual melalui skema subsidi dalam tujuh
tahun ini masih banyak kosong. Sekarang tercatat 115 warga yang berdiam di
kawasan ini.
Tapi, yang perlu saya tegaskan. Hampir 50 persen dari penghuni adalah
pengontrak. Sekali lagi mereka adalah pengontrak bukan pemilik.
Berbeda dengan kawasan rumah subsidi Ndalem Guwosari, tepat berada di sisi
timur kompleks saya tinggali dan dikembangkan akhir 2017 lalu. Kawasan baru ini
sudah padat penduduk dan berkembang menjadi sebuah kampung baru.
Menjadi sebuah paradoks, tentunya bagi saya, khususnya di DIY. Dengan harga
tanah yang naik ugal-ugalan, karena peminatnya melonjak. Sehingga wajar saja,
jika ada satu perumahan dijual dengan harga di bawah Rp135 juta akan laris
manis.
Tapi tidak dengan perumahan saya. Meski mendapatkan subsidi sehingga
berharga murah. Namun para pemiliknya seperti enggan bermukim di sana. Bahkan
ada beberapa pemilik yang dulu sempat tinggal malah bermukim di rumah orang
tuanya dan baru melihat saat akhir pekan.
Walhasil, perumahan saya seperti vila.
Jika anda berkunjung ke kompleks kami. Di beberapa bagian perumahan kami,
tentunya di sisi barat yang langsung berbatasan dengan sungai dan selatan yang
berbatasan dengan hutan, maka anda akan temukan rumah-rumah kosong.
Bahkan di sisi tengah, di mana banyak penduduknya. Beberapa rumah dibiarkan
kosong tanpa dipelihara. Ini dibuktikan dengan rimbunnya semak-semak di halaman
rumah yang menjadi penanda tidak pernah hadirnya pemilik menenggok properti
milik mereka.
Beberapa waktu lalu saya sempat mencari informasi kepada pemilik rumah
mengapa tidak bermukim di sana saja. Selalu saja tiga alasan klasik yang mereka
sampaikan.
Alasan klasik kedua, fasilitas jalannya belum diperbaiki. Bagi saya ini
adalah alasan yang dibuat-buat. Sebab beberapa warga gang berinisiatif membangun
jalan sendiri secara swadaya. Jikapun memang tidak bisa, seharusnya rumah itu
didiami terlebih dahulu dan menuntut pengembang untuk menyelesaikannya.
Jalan yang bagus adalah sudah menjadi hak bagi pembeli dan merupakan
kewajiban bagi pengembang. Hal itu sebenarnya sudah diatur dalam pemerintah
saat pengembang bersedia menerima program subsidi ini.
Alasan terakhir yang dikemukakan pembeli, bahwa dia membeli di sana sebagai
investasi saja. Ya alasan ini bisa diterima, jika mereka membeli rumah dengan
harga sesuai pasaran.
Tapi ini adalah harga rumah subsidi yang dibikin murah agar banyak orang
bisa memiliki rumah, bukan untuk investasi. Saya menduga dan saya bisa
pastikan, pengembang telah melayani pembeli yang salah dengan dasar alasan ini.
Lantas apakah kami sebagai penghuni diam saja. Tentu tidak ferguso. Kami
pernah menuntut perbaikan fasilitas kepada pengembang, baik secara langsung
maupun melalui bank BTN sebagai debitur. Tetapi selalu saja jawabannya tidak
pernah memuaskan.
Pengembang selalu beralasan bahwa membangun rumah subsidi membuat mereka
merugi. Harga tanah dan pembangunan dianggap tidak sebanding dengan harga jual.
Saya berpikir, kenapa dulu saat dilakukan kalkulasi akan rugi proyek ini
diambil.
Bank BTN juga sama. Mereka seperti tidak memiliki ‘senjat’ untuk menekan
pengembang menyelesaikan kewajibannya. Tidak hanya fasilitas sosial, sertifikat
yang sudah pecah per unit saja bisa dibalik namakan karena uang yang disetor ke
pengembang tidak tahu kemana juntrungannya.
Walhasil lagi, sertifikat itu sekarang masih di notaris dan tidak bisa
dijadikan angguna. Saya menduga dengan keras, dalam proses pengadaan proyek ini
pengembang dan bank bermain. Saat ada masalah mereka tidak menemukan solusi dan
titik temu.
Sebelas dua belas dengan pengembang dan bank pemberi kredit. Penghuni yang
sebagian besar pengontrak juga terlihat tidak memiliki kepedulian terhadap
lingkungannya. Paguyuban yang dibentuk sebagai wadah tidak pernah ditaati
aturan yang sudah disepakati.
Mungkin mereka mencontoh dari pemilik rumah dan penghuni yang lain. Dimana
sikap ketidakpedulian, sikap cuek, sikap seperti penghuni kawasan kluster
diterapkan.
Saya sadar ada teori yang menyatakan, semakin lama tinggal dan kenal dengan
penghuni di sebuah kompleks. Maka semakin jauh orang tersebut dari sikap
keakraban.
Teori ini sebenarnya bisa dilawan asalkan semua warga senang kumpul dan
srawung.
Terima kasih. Jika tidak terima. Jawablah dengan tulisan yang argumennya
jelas. Jangan main tuduh tanpa fakta. Saya siap melawan!!!
Seneng aku
BalasHapus