Politik Identitas VS Nalar Kebenaran



Oleh Kukuh Setyono
Dalam diskusi yang diselenggarakan pelaku Reformasi 1998 'Melanjutkan Tugas Kebangsaan Kita',  minggu lalu di Bantul. 21 tahun kehadiran reformasi yang dulu menuntut keadilan dan kesejahteraan rakyat ternyata saat ini menghadapi musuh yang sangat berbeda.
Politik Identitas dinilai menjadi musuh nyata sekarang dihadapi anak bangsa ditengah rongrongan korupsi yang mengarah pada jual beli kewenangan. Politik Identitas ini mengusung agama sebagai tameng memerangi konsensus negara berbangsa yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran.
Mereka sepakat, bahwa politik identitas yang sekarang ini sudah merasuki dunia pendidikan adalah hasil dari politik berbiaya tinggi yang dilakukan para elit politik untuk meraih kekuasaan. Partai politik 21 tahun ini dinilai gagal menghadirkan kader partai yang mampu menjaga marwah, semangat reformasi sesuai dengan konsensus kebangsaan yang disepakati Bapak Bangsa jaman revolusi.
Selain merusak kesatuan masyarakat Indonesia yang majemuk, politik identitas yang membuat banyak orang kehilangan akal sehat dan rasionalitas. Politik identitas adalah ancaman nyata bagi konsensus bangsa yang sepakat negara ini didirikan untuk semua, bukan untuk satu golongan dan agama.
Politik identitas hadir karena kekecewaan kalangan muda pada politik dewasa ini membuat mereka menjadi apatis dan menjauhi dunia politik. Politik dianggap tidak menyuarakan anspirasi mereka. Peningkatan ekspetasi terhadap keberlangsungan masa depan politik yang ideal bagi kalangan anak muda ini secara umum muncul dan lahir karena bertambahnya generasi yang lebih terdidik.
Keterbukaan informasi internet dan kebebasan pers memaksa mereka memiliki pemikiran kritis terhadap keberlangsungan demokrasi. Internet menghadirkan ruang sosial yang lebih terfregmentasi atau tersekat-sekat karena didasarkan pada pilihan-pilihan keseharian yang dibantu algoritma.
Kekecewaan ini membuat kalangan anak muda menoleh pada politik identitas. Berbagai hasil penelitian dan jajak pendapat, menjadikan agama sebagai dasar bagi generasi muda menentukan pilihan politiknya.
Menurut penulis Francis Fukuyama dalam bukunya ‘Identity’, identitas adalah sutau hal yang dibangun dari tiga fenomena. Pertama, Tymos yaitu menyangkit aspek universal kepribadian manusia yang dipenuhi hasrat pengakuan.
Kedua adalah cara membangun perbedaan antara saya dan orang lain dan ketiga, memperluas konsep identitas yang awalnya didasarkan pada harga diri yang sifatnya personal, menjadi sesuatu yang bersifat universal melalui proyek politik identitas.
Kencangnya arus urbanisasi mendorong meluasnya pertanyaan tentang identitas. Anak-anak muda yang awalnya hidup di alam pedesaan yang tenang dan adanya lingkungan serta dukungan sosial yang ideal secara tiba-tiba berhadapan dengan ketidakpastian ketika menjalani kehidupan di kota.
Kegelisahan dalam mencari akar identitas ini muncul seiring adanya interaksi dengan orang-orang yang memiliki latar belakang berbeda. Ditambah lagi arus deras informasi membuat kalangan anak muda yang diliputi kegelisahan pencarian jati diri ini kebingungan mencari tahu serta bertanya kepada siapa.
Mereka terasa terasing dan kesulitan untuk beradaptasi maupun bersosialisasi dengan kehidupan sosial di depannya.
Dalam proses pencarian itu, mereka lantas mencari jawaban dengan mulai mengali akar jati diri identitasnya, baik yang bersumber pada suku atau agama yang menegaskan siapa diri mereka.
Derasnya gelombang informasi di internet yang menjadi konsumsi sehari-hari, cukup sulit membuktikan itu informasi yang benar maupun hoaks. Ternyata berdampak lahirnya pemikiran yang mengarah pada pasca kebenaran (post-truht).
Paparan informasi ini menjadikan anak-anak muda yang memiliki literasi rendah ini mendorong mereka untuk lebih mempercayai kebenaran yang disampaikan dari orang-orang yang dipercaya dan sering berhubungan dengan mereka. Fakta dan kebenaran bukan bukan lagi hal-hal penting di dunia pasca kebenaran ini.
Informasi yang atau kebenaran yang datar tak akan menarik perhatian mereka. Namun informasi yang memuat kebohongan ekstrim, sensasional atau pemaparan teori konsporasi lebih membuat bersemangat dan tentu saja lebih cepat tersebarnya.
Internet telah menghadirkan dunia baru dan tatanan sosial yang tidak pernah dikenal sebelumya serta sulit diprediksi kemana arah langkahnya. Kondisi ini perparah dengan cara memandang kondisi terbarukan ini dengan kacamata lama sehingga tidak pernah mendapatkan gambaran atau pemahaman yang benar tentang dunia sosial dan tatanan baru ini.
Semua menjalani kehidupan baru ini dengan cara pandang dan pemikiran yang lama. Akhirnya benturan besar tidak bisa dihindarkan.
Sebagian besar orang yang ingin menikmati kehidupan sosial dan tatanan baru gagal total mengikuti perubahan. Sedangkan kehidupan dan tatanan sosial yang lama berantakan karena tidak pernah diurus perkembangannya.
Saat dunia sosial lama ini berantakan dan dunia sosial baru terasa asing, maka lahirnya rasa galau, letih, tidak aman, dan terlebih ketika harga diri serta identitas terancam. Maka muncullah rasa putus asa dan kemarahan yang kemudian mengarah ke pilihan bahwa ideologi serta identitas nasionalisme menjadi pilihan tepat untuk berlindung.
Tapi dalam perjalannya, ideologi serta identitas nasionalisme ini juga dirasa tidak memberi jawaban yang mereka butuhkan. Maka ideologi keagamaan adalah pilihan rasional yang selanjutnya.
Ideologi keagamaan lebih menarik bagi mereka yang kebingungan dalam dunia dan tatanan sosial baru ini karena lebih mudah mendapatkan kesamaan nilai dan keyakinan yang disakralkan oleh kesamaan iman, dalam satu komunitas yang lebih kecil dan ekslusif.
Tapi sayangnya, bagi kebangsaan dan kenegaraan, kebangkitan politik identitas berlandaskan agama ini hanya akan menambah masalah jika sebuah negara tidak memiliki sistem pemerintah yang kuat dan kokoh. Bahkan masalah ini akan bertambah meluas saat masyarakat yang disasarnya tidak memiliki basis budaya ilmu pengetahuan.
Politik identitas menghilangkan rasa kemanusiaan keseluruhan yang digantikan seruan akan identitas ekslusif entah itu agama, suku, maupun perpaduan agama-etnis. 
Kemasifan politi identitas di negeri ini yang diperkuat dengan informasi-informasi pasca kebenaran hadir karena kebenarnya diremehkan. Memang manusia tidak kedap terhadap kebenaran yang ada di depannya, namun kebenaran bisa saja diabaikan.
Kondisi pasca kebenaran adalah gambaran atau lukisan kondisi ketika ketidakbenaran tidak dianggap lagi penting dalam sendi-sendi kehidupan terutama politik. Tapi perlu digaris bawahi bahwa kondisi ini sama sekali tidak menganggap bahwa kebenaran tidak penting, tetapi ini menunjukkan sebuah keprihatinan. Keprihatinan yang mungkin terjadi karena kebenaran merupakan nilai penting dalam demokrasi.
Menjadi hakekatnya bahwa kebenaran akan selalu dan selamanya menarik bagi manusia. Hal ini dikarenakan manusia tidaklah serasional seperti yang disangkakan. Nalar manusia tidak netral, penuh tendesius, sehingga apa yang kita harap benar tentang suatu hal bisa jadi berubah, terlebih ketika hal itu memiliki hubungan antara pribadi dan kepentingan. Nalar akan selalu tendesius.
Tapi yang perlu diingat, bahwa meski nalar manusia tidak rasional. Tetapi manusia juga tidak kedap terhadap kebenaran. Kewarasan setiap individu terkait erat dengan keterbukaan terhadap kebenaran yang didasarkan pada penerimaan atas fakta kemajemukan, kesetiaan pada ideologi, dan pengalaman-pengalaman di masa lalu.
Ketiga hal ini menjadi tiga pintu masuk guna terus menjamin kewarasan manusia dan masyarakatnya.
 Menjaga kebenaran dan kewarasan, akan membawa manusia akan lebih bahagia dan lebih berempati pada sesamanya. Kebenaran membuat manusia mampu menentukan pilihan-pilihan yang dirasa berguna dan bermanfaat bagi dirinya.
Demikian juga ketika kebenaran dan kewarasan dijaga, akan membuat manusia mampu memiliki empati dengan hanya melihat melihat gestur dan wajah berbeda yang ditampilkan sejawatnya dalam menyingkapi kesedihan serta ketakutan.
Kebenaran dan kewarasan juga akan membuat manusia semakin mahir dalam mempertimbangkan baik buruk, salah benar, bahkan adil dan sewenang-wenang. Dengan kemampuan berpikirnya, manusia terus melakukan intropeksi diri dan mengevaluasi diri, untuk menciptakan pembaharuan dalam hubungan yang lebih baik demi mewujudkan relasi ideal antar sesama manusia.
Hubungan sosial adalah pelajaran pertama yang didapatkan manusia ketika dia lahir ke dunia. Manusia adalah satu-satunya spesies yang memerlukan pertolongan pihak lain saat proses melahirkan. Hewan lain tidak memerlukannya.
Bayi manusia ketika dilahirkan sangat dalam kondisi prematur dibandingkan spesies lainnya. Hewan dilahirkan dalam kondisi fisik yang cukup matang sehingga hanya memerlukan waktu pengasuhan yang cukup singkat oleh induk mereka sebelum dilepaskan secara mandiri. Adapun bayi manusia terlahir sangat lemah sehingga membutuhkan waktu pengasuhan yang panjang oleh orang tuanya.
Kelahiran prematur pada bayi manusia memungkinkan tumbuhnya jiwa kemanusiaan karena hubungan emosional yang kuat antara anak dan orang tuanya. Kehadiran pihak lain, mendorong tumbuhnya rasa simpati dan empati antar sesama manusia. Rasa simpati dan saling membutuhkan pertolongan itu berkembang dengan baik sebagai naluri bawaan dalam jiwa manusia pada nilai-nilai kemanusiaan.
Hadirnya hubungan yang baik antar manusia di sekitarnya dan memiliki kepentingan dengannya akan melahirkan sebuah kondisi moral yang dimana setiap individu ingin meraih kebahagiaan, hidup yang baik dan benar. Hubungan yang baik adalah syarat utamanya.
Untuk mencapai dan mewujudkan keinginan itu, manusia akan selalu menghormati perbedaan, menerima perbedaan, dan merayakan perbedaan. Jadi menghargai keberagaman merupakan keniscayaan jika ingin meraih kehidupan yang damai.
Tetapi sejatinya manusia juga dilahirkan dengan membawa nafsu dan kecenderungan egoistik serta tega memangsa yang lainnya. Sejarah kehidupan manusia tidak pernah terpisahkan dari konflik dan perang.
Namun, secara bawah sadar, kewarasan dan kebenaran yang selalu dijaga akan mengatakan bahwa kebaikan, kebenaran, keadilan, dan kedamaian merupakan kenyataan yang selalu diidealkan dan diidamkan sepanjang masa.
Semua itu sesuai dengan pesan ajaran agama, sehingga peperangan dan kejahatan dianggap melawan dasar agama dan peradaban. Agama adalah ajaran yang diyakini berasal dari Tuhan pencipta manusia. Maka nilai-nilai dasar agama memiliki perhatian kepada agenda kemanusiaan dunia sekalipun agama lahir dan berbentuk dalam jubah kebudayaan dan bahasa yang bersifat lokal.
Karena itulah, sifat keduniaan agama terwadahi dalam format lokalitas. Hanya saja karena jumlah penduduk dunia semakin bertambah dan tak sebanding dengan jumlah manusia saat agama itu lahir dan hadirnya perjumpaan lintas pemeluk agama berlangsung intens dan masif. Maka seringkali nilai-nilai keduniaan agama tertutupi dengan bungkus lokalnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

‘Dua Jaya’, Penambal Ban Paling Ampuh se-Kota Genteng

Bertobat Jangan Setengah-setengah

Sekilas Tentang Kematian Media Cetak