Saya Memilih Jongkok Tinimbang Duduk
Pada dunia twitter. @Puthutea pada 04.56 - 5 Des 2018 menuliskan: Luur,
dalam hal perngisingan, kowe modele kaya wong apa? Model wc duduk, wc jongkok,
apa model ‘plung lap’ neng kali kae? Aku asline seneng sing model ‘plung lap’,
apamaneh nek kaline resik, berbatu, karo udud, tur neng ngisor akeh iwak2 sing
siap nampani. Damai...
Membaca ini saya tertawa sendiri dalam hari. Saya tidak merettwit atau
berkomentar. Saya berpikir ini akan menjadi bahan dalam tulisan blog.
Sebuah pertanyaan sederhana yang saya kira akan jamak diajukan kepada
masyarakat kita. Masyarakat yang memiliki anugerah terbesar di dunia,
melimpahnya air sehingga mengakibatkan banyaknya sungai. Tentu saja, sungai
dalam sejarah kebudayaan manusia adalah sumber hadirnya kehidupan manusia.
Banyak sejarah menyatakan, sepanjang sungai merupakan tempat tinggal
terbesar dan terbanyak manusia. Manusia menjadi sungai sebagai sumber kehidupan
dan wadah aktivitas keseharian.
Sebagai sumber air minum. Sebagai tempat mencuci pakaian. Sebagai mata
air tanaman pangan. Dan tentu saja, sebagai tempat pembuangan kotoran.
Berbicara tentang tempat pembuatan kotoran. Sungai di Indonesia
merupakan wc terbesar bagi masyarakat Indonesia. Bagi daerah pedalaman,
kehadiran kotoran manusia kiranya kecil kemungkinan menimbulkan permasalahan
kesehatan. Tetapi berbeda di lokasi padat penduduk atau kota besar. Kotoran
yang dibuang di sungai adalah sumber segala musibah.
Jakarta atau dulu dikenal dengan Batavia pernah mengalami malapetaka
diare yang disebabkan menumpuknya kotoran manusia di sepanjang sungai. Ribuan orang
meninggal. Kebudayaan hampir musnah.
Lalu munculan wc.
Generasi yang lahir di tahun 80-an seperti saya, terutama yang tinggal
di daerah jauh dari kata kota kiranya pernah merasakan bagaimana nikmatnya
membuat kotoran di sungai. Tanpa perlu bersusah payah menyiram, kotoran akan
hanyut sendiri. Yang diperlukan hanya membersihkan anus dengan tangan kiri
dengan air yang mengalir terus.
Kwkwkwkwkwk. Jangan jijik. Ini pengalaman saat keluarga saya belum
memiliki wc.
Tidak usah semuluk pengalaman Puthut EA yang bisa ‘BEOL’ di sungai yang
jernih, berbatu, dan banyak ikan. Sungai tempat saya membuang kotoran adalah
sungai kecil yang juga merupakan tempat pembuangan limbah rumah tangga. Apabila
hujan, tentu saja banjir dan masuk ke rumah hingga sepaha orang dewasa. Sungai
itu juga dekat dengan jembatan utama, sehingga selalu ramai saat siang.
Karena ramai itulah, akhirnya pilihan membuang kotoran adalah malam
hari. Banyak yang tidak melihat. Tempat favorit saya adalah di bawah pohon
kenangan, jongkok di salah satu ruang akarnya yang menjorok ke aliran sungai. Nyaman,
saya rasa saat itu.
Kebiasaan BEOL di sungai mulai berkurang saat kami sudah memiliki wc
sendiri. Walau terkadang, masih dilakukan jika ingin menikmati sepi malam hari
dengan sebatang rokok dan menikmati suara riak air. Hampir 20 tahun ini saya
tidak pernah lagi BEOL di sungai. Rasanya kangen dan akan dicoba saat pulang ke
rumah nanti.
Mungkin inilah yang menjadikan saya jika BEOL bisanya hanya di wc
jongkok. Saya tidak bisa di wc duduk. meski kaki akan kesemutan karena jongkok,
namun itu tidak menjadi masalah asalkan semua feses keluar.
Saya pernah mencoba untuk BEOL di kloset duduk, terutama saat menginap
di hotel. Alhasil saya memiliki masalah sendiri, feses tidak keluar. Solusi yang
saya tempuh adalah dengan memanfaatkan wc para pekerja hotel yang berada jauh
di belakang atau lantai parkiran, namun sangat memberi manfaat saat dibutuhkan.
Di Indonesia, hingga November 2018 tercatat 84 juta orang tidak memiliki
akses sanitasi yang ideal. Akibat membuang kotoran sembarangan, sebanyak
150.000 anak meninggal setiap tahunnya karena terpapar penyakit yang disebabkan
kotoran manusia. Bila dibandingkan dengan Australia, maka satu dari empat
pendudukan Indonesia tidak memiliki toilet/wc atau kloset.
Menjadi penting kiranya merubah paradigma BEOL sembarangan di masyarakat
Indonesia. Sampai sekarang wc masih dianggap sebagai bentuk kenyamanan dan
aksesoris penting pada sebuah kamar mandi. Padahal yang sudut pandang
terpenting bahwa wc adalah faktor pendukung kesehatan yang harus senangtiasa
ada di setiap rumah tangga.
Jika terkait masalah kesehatan, maka manusia Indonesia berada di tingkat
paling rendah. Sebab mereka masih memikirkan bagaimana hari ini bisa makan. Bukan
tentang masa depan.
Upaya penyadaran ini harus dimulai dengan sosialisasi pentingnya
pengelolaan air bersih untuk minum. Banyak masyarakat yang tidak sadar, bahwa
penggunaan air yang tercampur dengan kotoran manusia secara langsung akan mengakibatkan
masuknya penyakit ke tubuh manusia jika dikonsumsi langsung. Karena itulah para
pakar kesehatan menyarankan agar septic tank untuk menampung kotoran minimal
berjarak lima meter dari sumber mata air.
Kenapa harus lima meter. Sebab bakteri koli-tinja yang menjadi penyebab
diare hanya mampu menempuh berjalan tiga meter perhari. Jika lebih dari tiga
meter maka dia akan mati. Jadi dari sini paham kan?
Komentar
Posting Komentar