Nasionalisme Merah Putih
Masih dalam kenangan saya, saat awal sampai
akhir tahun 1900-an, saat memasuki bulan Agustus, bulan sakral bagi bangsa ini.
Kibaran Sang Saka Merah Putih masih bisa terlihat dalam ketinggian yang penuh
dengan kebanggaan. Berkibar di tiang-tiang tinggi baik dari kayu maupun besi,
Sang Saka Merah Putih terlihat gagah di tengat tiupan angin dan memenuhi
sepanjang jalan.
Terbayang
saat itu, dengan semangat yang merata dan tanpa paksaan, para veteran yang
masih hidup, termasuk kakek, begitu bangganya dengan kibaran Sang Saka Merah
Putih di ketinggian angkasa. Mengibaratkan kibaran Sang Saka Merah Putih pada
siang hari selama sebulan penuh itu mengambarkan bagaimana cita-cita mereka
dalam berjuang untuk kemerdekaan bangsa ini.
Dalam
kondisi yang cukup bisa dikatakan kurang dari kecukupan, para orang tua yang
merasakan langsung duka perang dengan suka rela dan tanpa diperintah membuat
tiang, entah dari kayu maupun besi bekas. Mereka mendirikan dengan Sang Saka
Merah Putih berkibar di pinggir jalan setiap hari tanpa mempedulikan panas
maupun hujan.
Sederhana
saja pemikirannya. Tidak peduli dengan jargon-jargon mengisi kemerdekaan dengan
pembangunan yang didengungkan penguasa, tidak memikirkan untuk apa mereka
melakukan itu. Namun semenjak merasakan kemerdekaan, mengibarkan Sang Saka
Merah Putih di posisi tertinggi adalah kewajiban bagi mereka untuk mengenang
para pahlawan yang gugur demi kemerdekaan.
Sekarang,
lebih dari 15 tahun kenangan itu selalu tersimpan dan tidak pernah dipraktekan
karena memang tidak memiliki rumah di pinggir jalan. Bila dibandingkan dengan
kondisi sekarang ini, miris, sedih, dan tidak terima selalu muncul di hati bila
melihat Sang Saka Merah Putih dikibarkan.
Dengan
ukuran yang jauh lebih kecil, dikibarkan pada tiang seadannya, dan peletakkan
yang tidak mencerminkan penghormatan, Sang Saka Merah Putih terlihat hanya
sekedar hiasan saja menjelang peringatan kemerdekaan setiap tahunnya.
Bahkan
lebih miris lagi, penguasan sekarang memberlakukan aturan pengibaran Sang Saka
Merah Putih hanya berselang H-3 sampai H+2 di dari tanggal keramat 17 Agustus. Dimana
rasa hormat bangsa ini sekarang?
Di
tiang-tiang pendek itu Sang Saka Merah Putih hanya disempatkan begitu saja. Tanpa
rasa kehormatan, tanpa rasa memiliki sejarah bahwa dia dilahirkan dengan
mengorbankan begitu banyak raga dan nyawa dari para leluhur yang menginginkan
kita tidak berada di bawah kekuasaan orang lain.
Namun
pengorbanan mereka tidak ada artinya. Jangankan untuk mengisi kemerdekaan
dengan pembangunan, dengan kemakmuran, dengan pendidikan dan pengetahuan yang
mampu menjadikan bangsa ini bersaing dengan bangsa lain, untuk mengibarkan Sang
Saka Merah Putih yang merupakan lambang negara tidak dilakukan dengan sepenuh
hati.
Akhirnya,
bisa disimpulkan, bahwa memang kondisi bangsa ini memang sudah begitu kronis. Jadi
wajar saja, semangat untuk memberikan penghormatan kepada para pahlawan hanyalah
sekedar di mulut-mulut saja yang tidak lebih dari lima menit diucapkan.
Beruntunglah para pahlawan 45 yang telah gugur membela tanah air dan bangsa,
karena mereka hanyalah melawan satu penjajah yang berkeinginan menjajah kembali
negeri tercinta ini. Sekarang ini perjuangan bagi kita malah lebih berat,
selain melawan bangsa asing dalam bentuk penjajahan yang lain, kita juga
diharuskan melawan bangsa sendiri yang memang tidak ingin melihat negeri ini
besar seperti harapan pahlawan.
Salam
menjelang tengah malam 17/8/13
Komentar
Posting Komentar